Archive for September 2016
[Cerpen - Zaharanisaf] - Hujan di Musim Kemarau
By : Zahara Nisa F
Hujan
di Musim Kemarau
Oleh: Zahara
Nisa Fadila
***
Gerimis
kian menderas sesaat setelah kedatangan lelaki itu. Untuk beberapa waktu, aku
hanya termangu; tidak tahu harus berkata apa. Otakku sibuk menerka-nerka
tentang musabab kedatangannya, tentang bagaimana lelaki itu bisa sampai di
hadapanku.
Aku ingin menanyakan banyak perihal
pada Adrian, mengapa dia bisa tahu aku berada di tempat ini, berbasa-basi
apakah dia memiliki semacam alat pelacak, menyambut kedatangannya dengan senyum
sumringah, namun saat semua itu belum sempat kulakukan, lelaki itu telah lebih
dulu meraih pundakku. Ditepuknya dengan pelan kedua bahuku yang nyaris rapuh.
Sedetik kemudian, garis bibirnya berkedut, dia mengukir senyum. Senyum yang
dalam sekejap berhasil menohok batinku. Membuatku tertunduk hingga menangis.
Adrian
tahu. Tatapan matanya mengindikasikan bahwa dia sungguh telah tahu apa yang
terjadi. Dia tahu, mengapa aku melarikan diri ke tempat ini. Dan kedatangannya
ke sini, tidak lain tidak bukan adalah untuk menyusulku; memastikan apakah aku
baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
Sahabat
adalah seseorang yang bisa mengerti perasaan kita, tahu semua hal tanpa kita
harus bercerita panjang lebar. Barangkali, laki-laki yang biasa kupanggil
Adrian ini adalah memang sahabatku.
Aku
terisak dihadapannya. Nyaris kehilangan pertahanan, beruntung Adrian
cepat-cepat menenangkanku, bilang bahwa dia ada di sampingku dan siap mendengar
apapun yang hendak kubicarakan.
“Aku
paling tidak bisa menyikapi orang yang sedang patah semangat, Ra. Maafkan aku
kalau tidak bisa membantu banyak selain menjadi pendengar dari setiap hal yang
ingin kaubicarakan.”
Aku
mengangguk patah-patah, mencoba mengiyakan tanpa harus keluar suara.
Adrian
berdiri dua hasta di dekatku. Tangannya yang tadi menepuk bahuku, kini sudah ia
masukkan kembali ke dalam saku hoodienya yang setengah basah. Kami berdiri
saling bersisian, menatap ke arah hamparan sawah yang membentang di bawah sana.
Lima
belas menit lalu aku melarikan diri ke tempat ini, berdiri di atap gedung sekolah
bagian belakang yang sisi kirinya menghadap ke arah sawah-sawah yang mulai
menguning. Atap ini cukup menjanjikan dalam hal memberi ketenangan,
pemandangannya memanjakan mata. Ketika sedang cerah, langit seringkali
menyuguhkan formasi yang mempesona. Dan diakui atau tidak, atap ini adalah
satu-satunya tempat di sekolah yang bisa kujadikan pelarian setelah semua
kesakitan yang kualami, hari ini.
Ini
adalah hari paling buruk dalam sejarah. Hari ketika aku harus kehilangan
mimpi-mimpiku. Hari ketika aku harus dengan berat hati melepas semua harapan
yang sudah mati-matian kubangun selama satu tahun terakhir. Hari ketika segala
pengorbananku sia-sia
Pernahkah
kamu memperjuangkan sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah bisa kamu dapatkan?
Jika pernah, maka kamu telah merasakan menjadi aku. Detik ini juga aku paham,
bahwa sebuah pengorbanan bisa saja menjadi sia-sia.
“Aku
tahu betul, Ra. Aku sangat mengerti perasaanmu ketika kau gagal menjadi
pemenang. Ketika semua pihak menjatuhkanmu, aku paham betul apa yang kau
rasakan.” Lelaki itu berbisik lirih, suaranya berpadu dengan rintik-rintik
gerimis.
“Kalau
aku menjadi kau, aku juga akan sama terpukulnya. Ini soal mimpi yang
mati-matian diperjuangkan namun tak menuai hasil, dan aku yakin, orang mana pun
akan mendadak hampir gila jika kehilangan mimpi-mimpinya,” lanjutnya. “Tapi
kamu tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan, lihatlah, langit bahkan turut
menangis karena melihatmu bersedih hati macam ini.”
Kutengadahkan
wajahku hingga aku bisa merasakan rintik hujan mulai membasuh wajahku. Ada
sensasi damai yang sulit dijelaskan, yang membuatku tiba-tiba menyunggingkan
senyum.
“Langit
selalu punya seremonial khusus untuk merayakan setiap kejadian-kejadian penting
dalam hidupku. Seperti hari ini, langit turut merayakan kesedihanku lewat rinai
hujan yang merebak.”
Adrian
menoleh, ditatapnya mataku dengan tatapan terbelalak, “A-aku setuju.”
“Penghiburan
terbaik kadangkala bisa kita dapatkan secara cuma-cuma dari alam semesta. Lewat
hal-hal sepele. Hujan, pelangi, angin…” lanjutnya.
Ada
bagian dari diriku yang ingin berhambur memeluknya. Setuju pada setiap apa yang
dikatakannya. Entah sejak kapan, Adrian mulai lihai berkata-kata. Kalimatnya
mengalir deras seperti hujan di musim kemarau, menghadirkan sejuk. Tapi, ah,
belum sempat memeluk, aku telah lebih dulu diracuni perasaan kikuk. Hingga
akhirnya nalarku membuat kesimpulan; memeluk lelaki di tengah hujan dengan
latar atap sekolah sepertinya bukan ide yang bagus. Pada akhirnya, aku
mengurungkan niatku dan tetap berdiri beberapa hasta di dekatnya. Menjaga
jarak. Mengatur kadar kewarasan.
Jika
dikalkulasi secara kira-kira, hujan yang turun di sore ini jelas bukan penanda
datangnya musim penghujan. Ini bulan September, bulan-bulan yang semestinya
gersang. Bulan-bulan kering. Itulah mengapa aku cukup puas dengan kedatangannya
sore ini yang diluar perkiraan, yang selain menebarkan sejuk kepada bumi, juga
berhasil menebar sejuk di bilik perasaanku. Hujan musim kemarau, hujan yang
dinanti-nanti.
“Ra,”
Aku
berpaling menatapnya. Dari samping, dapat kulihat dengan jelas potret tubuhnya
yang maskulin. Rambutnya sempurna basah karena gerimis di atas kami telah
bertranformasi menjadi hujan, kacamatanya mengembun, wajahnya pucat karena
menggigil. Namun, dia tetap tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa. Senyumnya
terlampau jujur, terlampau apa adanya.
“Mau
mendengar sesuatu dariku?”
“Sesuatu?”
Aku mengangkat bahu, memasang ekspresi penasaran.
“Yup,
sesuatu yang kuharap bisa memperbaik suasana hatimu.”
“Apa?”
“Aku
akan menjatuhkanmu sejatuh-jatuhnya sehingga tidak ada yang bisa menjatuhkanmu
lagi.”
Sejenak,
aku sempat berpikir perihal makna kalimat itu. Namun, tanpa benar-benar
menemukan jawaban, pipiku terlanjur merona.
Kuberi
ia sebuah senyuman yang kemudian dibalasnya dengan senyum yang sama. Kami
saling mengikat pandangan, berbagi rasa lewat tatapan mata.
“Melindungiku
dengan cara menyakiti ya, itu kejam,” cibirku sembari menyeringai.
Dia
tertawa, “Asal bukan orang lain yang melakukannya.”
Aku
menggigit bibir, meredam rasa yang kian bergejolak. Dia masih beberapa hasta di
dekatku. Aku juga masih sebisa mungkin mengontrol kewarasan agar tetap kekeuh
pada jarak ini. Tidak mengambil langkah dengan gegabah.
Seperti
halnya hujan di musim kemarau, Adrian selalu tahu kapan harus datang. Dia selalu
tahu kapan sedang dibutuhkan.
Aku
mencengkeram ujung seragamku, bibirku berbisik lirih, “Terimakasih, Adrian.”
Tidak
ada jawaban, yang kudengar hanya suara angin menelisik dan suara hujan yang
makin deras.
Tapi
dari sudut matanya, aku tahu; dia membalas ucapan terimakasihku.
Untuk
beberapa saat, kami kembali saling diam. Menatap langit. Menatap hamparan
sawah.
Terkadang,
ada sesuatu hal yang sulit dijelaskan. Seperti misalnya, perasaan nyaman yang
tiba-tiba saja menjalari sukmaku setap kali ada di samping Adrian.
Sementara
ini, biarlah hanya Tuhan, langit mendung, dan hamparan sawah yang tahu betapa
aku menaruh pengharapan yang besar pada lelaki itu.
***
Brebes, 7
September 2016
#Ikan_Mas