Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Kamis, 11 Juli 2019


Braga dan Rindu yang Tiba-tiba
Zahara NF
***
“Mencintai bukanlah kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf karena telah mencintai seseorang?”
***
Gadis itu berteduh di depan sebuah ruko yang baru saja dibuka. Sekarang pukul empat sore, batinnya. Sebagian besar ruko di jalan Braga memang baru buka ketika sore.
Di hadapannya, orang-orang berlalu lalang mengenakan payung. Gadis itu lupa membawa payungnya, ia terlalu terburu-buru ketika memutuskan untuk keluar dari indekosnya demi membunuh rasa bosan dan mengobati suntuk. Maka, karena tidak mungkin menerobos hujan, ia memutuskan berteduh di depan sebuah ruko dengan arsitektur bangunan tua khas bangunan-bangunan di Eropa.
Hidupnya semenjak kepergian laki-laki itu begitu stagnan. Ia bangun di pagi hari, makan, membaca buku dan kadang-kadang menonton serial kartun favoritnya sampai sore, lalu ia tetap berada di ranjangnya hingga larut malam. Ia tidak punya kesibukan selain mengenang mantan kekasihnya, memutar lagu-lagu galau, lalu menangis sepanjang hari (itupun kalau kegiatan-kegiatan semacam itu bisa dikatakan kesibukan).
Kerjaannya di salah satu perusahaan advertisting berantakan, ia tidak bisa fokus di kantor sehingga ia terpaksa harus diberhentikan. Sementara saldo tabungannya kian menipis. Kadang-kadang, gadis itu berpikir, kenapa patah hati sebegitu menyebalkannya?
Ruko tempat ia berteduh adalah sebuah restoran kecil, yang jika dibandingkan dengan restoran-restoran lain di sepanjang jalan Braga jelas kalah glamour. Restoran itu hanya memiliki satu pelayan yang sekaligus merangkap sebagai kasir dan juru masak. Gadis itu memutuskan masuk saat mendengar Fix You diputar melalui pengeras suara yang diletakkan di bagian paling pojok, di dekat kasir.
Moccacino satu, Teh[1] gadis itu menyebutkan pesanannya tanpa membuka daftar menu. Moccacino adalah minuman favoritnya sejak masih duduk di bangku SMA. Semua teman-temannya sudah hafal, jika mereka pergi bersama gadis itu ke sebuah kedai kopi, maka minuman yang akan dipesan gadis itu pastilah secangkir Moccacino hangat.
Sembari menunggu pesanan, gadis itu membuka gawainya. Ia teringat percakapannya dengan seorang perempuan yang tiba-tiba saja mengirim Whatsapp tadi pagi. Perempuan itu memasang foto profil dengan Arya –mantannya, dan mengajukan permintaan maaf karena telah jatuh cinta kepada laki-laki itu.
“Mencintai bukanlah kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf karena telah mencintai seseorang?” begitu yang disampaikan oleh gadis itu kepada kekasih baru Arya, tadi pagi. Tentu saja ia mengucapkannya dengan keadaan hati yang berantakan, dengan memaki-maki Arya, kenapa sih gampang banget dapet yang baru, padahal belum juga sebulan putus!
Tetapi lambat laun gadis itu menyadari, berpisah dengan Arya berarti bersiap jika saja sewaktu-waktu Arya menemukan perempuan lain sebagai penggantinya. Ia harus bersiap untuk digantikan. Untuk dilupakan.
Pesanan datang ketika tiba-tiba gawainya berdering.
“Halo? Rani?” sapa suara dari balik telepon.
Suara laki-laki itu begitu familiar, Rani (nama gadis itu) sedang merka-nerka siapa pemilik suara tersebut ketika akhirnya orang di seberang telepon berujar,
“Aku Angga, masa lupa sih? Teman satu kelasmu di SMA dulu. Tadi aku lihat snapgram-mu lagi di Braga. Aku juga lagi di Braga nih, ketemu yuk?”
***
Studio itu berukuran 5x5 meter dengan dinding warna putih dan kanvas yang tergeletak di mana-mana. Seorang laki-laki dengan kemeja berwarna putih dan jeans denim tengah duduk di kursi kerja, tangannya membereskan kertas-kertas entah apa. Rani masuk ke dalam studio setelah diarahkan oleh perempuan yang berjaga di depan bangunan.
“Hei, Rani! Long time no see!” Angga buru-buru menyalami Rani ketika melihat gadis itu masuk studio. Rani sama kagetnya menyaksikan Angga yang sudah banyak berubah.
Semua lukisan di ruangan ini begitu indah. Kebanyakan menggambarkan potret perempuan. Gambar-gambar yang tadinya hanya Rani saksikan di feeds Intagram Angga akhirnya ia saksikan secara langsung.
“Temenku sudah jadi pelukis, gila ya.” Rani menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Angga dulu adalah laki-laki yang pemalu dan enggan mengeksplorasi kemampuannya. Ia sudah melukis sejak SMA tapi sedikit sekali yang tahu karena laki-laki itu memang tidak pernah mempublikasikannya di manapun, juga tidak pernah mengikutsertakannya dalam lomba. Hanya teman-teman kelas yang tahu, juga beberapa teman ekstrakurikuler jurnalistik (termasuk Rani).
“Ya begitulah, Ran. Lambat laun aku sadar, sudah waktunya aku melepas karya-karyaku ke hadapan dunia. Bener katamu dulu, belum afdol kalo lukisanku belum dilihat oleh orang, gimana pesannya bakal sampai kalo ngga ditunjukin ke orang-orang.”
“Loh sampai masih ingat kata-kataku, Ngga?”
“Aku selalu ingat kamu.”
Ada getar dalam suara Angga, seketika keadaan menjadi canggung.
Pikiran Rani mengembara menuju kenangan-kenangan masa SMA, hari-hari ketika Angga dan dirinya begitu dekat. Selain teman satu kelas, Angga juga teman di beberapa ekskul seperti jurnalistik, teater, dan paduan suara. Kondisi yang mengharuskan mereka selalu bertemu membuat Angga pada akhirnya menyadari, ada bagian dari matanya yang jatuh ke dalam mata Rani setiap pandangan mereka bersinggungan. Atau ibaratnya, dirinya jatuh cinta. Tetapi Rani tidak membalas perasaan itu, sebab dirinya sudah lebih dulu mencintai Arya.
“Maaf,” suara Rani begitu lirih dan diliputi perasaan bersalah. Gadis itu menunduk dalam-dalam, memperhatikan ujung sepatu ketsnya yang lusuh. Kadang-kadang ia bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa dia memilih Arya? Kenapa perempuan mencintai laki-laki yang menyakitinya?
“Kenapa minta maaf, Ran?” Angga bertanya ragu-ragu, mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya. Mereka tiba-tiba terlibat dalam hening yang begitu syahdu.
Di kepala Rani, wajah Angga dan Arya berkelebat secara bergantian. Ia terkenang hari-harinya memperjuangkan Arya, hari-harinya menangisi Arya di samping Angga. Hari-hari setelah tahu bahwa Angga menyimpan perasaan kepadanya dan hubungan mereka sesudahnya yang lantas menjadi canggung.
“Maaf karena dulu aku mencintai Arya. Maaf sudah membuatmu terluka.”
Angga tersenyum. Laki-laki itu, sejak dulu selalu saja penuh rasa sabar. Diraihnya tangan Rani, sehingga Rani yang semula menunduk berangsur mengangkat kepalanya. Pandangan mereka bertemu; pandangan yang selalu membuat Angga jatuh.
“Mencintai bukan kesalahan, Ran. Jadi, tidak perlu meminta maaf karena telah mencintai seeorang.”
Sejurus kemudian, semesta di sekeliling mereka berhenti bergerak.
***
Kalijurang, 11 Juli 2019


[1] Sapaan untuk perempuan yang lebih tua dalam bahasa Sunda (sama seperti Mbak dalam bahasa Jawa).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -