Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Minggu, 07 Mei 2017



381 Hari dan Ketakutan yang Tak Lekas-lekas
Oleh: Zahara Nisa F
***
“Bahwa cinta selalu soal menerima dan berani terluka. Kalau kita mengaku mencintai seseorang tapi merampas kebebasannya, mempermasalahkan perkara-perkara yang ada dalam dirinya (padahal itu perkara kecil) serta tidak mau menerima seadanya, maka sesungguhnya itu bukan cinta sebenar-benarnya cinta. Itu hanya upaya untuk memuaskan egoisme saja”

***

“Dari segala kemungkinan tentang kita yang selalu memenuhi pikiranku, ada satu hal yang paling membuatku takut, Mas,” ujarku.
            Lelaki di sampingku hanya tersenyum, dipandangnya mataku lekat-lekat seperti tidak mau lepas. Lalu ketika aku mulai kikuk dan menunduk, sudut bibirnya bergetar. “Apa yang kau takutkan, Dik?”
Seperti sepasang kekasih pada umumnya, kami senang menghabiskan waktu bersama, saling bertukar cerita, berbagi resah, hingga memilin harap bersama. Hari berlalu, tahun berganti, dia menjadi lelaki yang kemudian selalu menemaniku, meredakan gundah, menyelipkan rasa tenang di setumpuk masalah yang kian hari kian membuatku resah.
“Takut aku jauh dari kamu?” tanyanya lagi, merasa gemas karena sedari tadi aku cuma melamun, tak kunjung menjawab.
Aku tersenyum, “Kalo cuma kamu yang jauh, aku nggak papa asal hatimu tetap di sini bersamaku.”
“Terus?”
Sekawanan burung dara terbang landai di sekitar kami, memberi kesan magis ala timur tengah yang entah bagaimana membuat kebersamaan kami kali ini terkesan dramatis.
“Takut aku ketemu sama perempuan yang lebih baik dari kamu?”
Aku kembali menggeleng. Bertemu dengan seorang putri secantik apapun rasanya tidak masalah, selama hatinya masih tetap untukku.
Ada kemungkinan lain yang justru lebih mengerikan. Akh. Aku menunduk resah, meremas sisi kiri rok, menyapu keringat yang sejak tadi membasahi telapak tanganku.
“Aku takut tiba-tiba saja tidak memiliki kamu lagi. Kamu di sini, tetapi hatimu entah ke mana. Aku takut segala tentang kita mendadak asing, tak lagi berarti di matamu.”
Lelaki itu tersenyum lalu menatapku sekali lagi. Dia tak berkata apapun, tapi aku tahu betapa dari kedua bola matanya yang sendu, ada energi begitu besar bernama keyakinan yang mengalir dan membajiriku seketika. Membuat aku mendesah pelan, lalu entah seperti apa prosesinya, ketakutan itu berangsur mereda. Dia mendekap dan menenangkan bahkan hanya dengan menggunakan kedua bola matanya.
***
Perkenalan kami sudah berusia ribuan hari, tetapi baru sekitar 381 hari kami betul-betul menjalani kebersamaan dan memutuskan untuk saling menitipkan hati kami masing-masing untuk sama-sama dijaga. Itulah yang begitu misteri dari kehidupan, kita kadang tidak menyadari atau lebih tepatnya tidak mengerti dengan siapa hati kita akan disandingkan, apakah dengan seseorang yang baru kita temui, atau justru dengan seseorang yang sudah kita kenal sejak jauh-jauh hari.
Alfa, dulu, mana mungkin aku berpikir bisa jatuh hati kepadanya. Melihat tindak tanduknya yang cuek bebek saja aku sudah malas, apalagi membayangkan harus mengarungi hari-hariku bersamanya, bisa-bisa aku lebih banyak kesal daripada bahagia.
Tetapi ternyata tidak, sesuatu kadang tidak seperti yang terlihat atau yang kita bayangkan. Bersama Alfa, aku belajar tentang banyak hal. Di balik sikapnya yang cuek, dia menyimpan kesungguhan yang aku yakin sekali justru tidak dimiliki oleh laki-laki picisan lain yang senang sekali mengumbar perhatian dan menjajakannya sembarangan seperti dagangan yang kelewat tidak laku.
Memang, ada suatu saat dimana aku merasa jenuh, bertanya mengapa dari sekian milyar laki-laki aku harus jatuh cinta pada dia, laki-laki super cuek super jutek dan super tidak peka. Tapi setiap kali sedang khilaf seperti itu, kesadaran dan akal sehat selalu saja cepat-cepat memburuku.
Bahwa cinta selalu soal menerima dan berani terluka. Kalau kita mengaku mencintai seseorang tapi merampas kebebasannya, mempermasalahkan perkara-perkara yang ada dalam dirinya (padahal itu perkara kecil) serta tidak mau menerima seadanya, maka sesungguhnya itu bukan cinta sebenar-benarnya cinta. Itu hanya upaya untuk memuaskan egoisme saja.
“Kamu pengen aku kayak gimana, kayak cowo-cowo pada umumnya?” tanya Alfa suatu ketika. Tetapi aku hanya menggeleng seirama. Jangan pernah susah payah menjadi orang lain hanya demi membuat seseorang yang kita sayang bahagia. Karena sesungguhnya kita tetap bisa membahagiakan mereka dengan tetap menjadi diri sendiri.
Cinta butuh dua orang yang mau sama-sama berjuang. Yang satu berjuang mempersembahkan yang terbaik dari dirinya, satunya lagi berjuang menerima, apapun dan bagaimanapun.
***
Kami masih duduk bersisian, di antara kelepak burung dara dan senja yang makin jingga. Dedaunan gugur di sekeliling kaki kami. Sudah kubilang, pertemuan kami kali ini, magis dan dramatis.
Dalam hubungan ini, aku selalu dijerat rasa takut. Takut kehilangan dirinya dengan berbagai cara. Takut dia jatuh ke hati lain, menyembunyikan sepotong percakapan dengan wanita yang entah siapa di ponselnya dan aku tidak sempat tahu. Takut kalau-kalau ada nama lain yang lebih dia tunggu-tunggu muncul di notifikasi barnya daripada aku. Takut dia jenuh, menyerah pada segala sikap menyebalkanku. Takut dia tiba-tiba berubah. Dan ketakutan-ketakutan lain tentang bagaimana aku harus menjalani hidup tanpanya.
“Anita?” Alfa membuyarkan lamunanku. Membuatku seketika mendongak, menatap wajahnya yang meskipun sedang duduk tapi tetap saja lebih tinggi dari aku.
“Kamu tahu apa obat dari segala prasangka dan rasa takut?”
Aku tampak berpikir.
“Obat dari segala prasangka dan rasa takut adalah rasa percaya,” Alfa menjawab pertanyaannya sendiri dengan penuh kemantapan. Seolah, dia bisa menelusuri isi pikiranku dan tahu perihal-perihal yang sedang mengganggu pikiranku.
“Waktu akan senantiasa bertambah. 381 hari kita besok-besok akan bertransformasi menjadi angka-angka lain yang lebih banyak, ketakutanmu juga boleh jadi akan semakin memuncak, membuatmu kewalahan. Tetapi rasa percaya, dia akan membuat kita tetap bertahan sebesar apapun rasa takut itu sendiri. Rasa percaya, adalah obat dari segala prasangka dan rasa takut.”
Dalam sekejap, kata-katanya mencuri perhatianku.
“Tetaplah percaya padaku, Anita. Tetaplah percaya bahwa bagaimanapun, Alfa akan selalu kembali kepada Anitanya, sejauh apapun ia pergi.”
Ada desir yang seketika merdu melagu di seisi diriku. Potret Alfa melebur bersama jingga dan kelepak burung dara yang semakin senja semakin bertambah jumlahnya.
Ah Alfa benar. Waktu akan terus bertambah dan prasangkaku tentangnya boleh jadi makin membuatku kalut. Tetapi rasa percaya, akan selalu membuat aku tidak pernah bosan mencintainya, seperti apapun keadaan berubah.
Alfa, jika suatu hari nanti kau harus pergi, aku takut tidak bisa mencintai siapa-siapa sebesar aku mencintaimu lagi.
***
Brebes, 7 Mei 2017
#Ikan_Mas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -