Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Sabtu, 14 Maret 2015



Kuuki ( Air ) Chapter 3
Oleh : Zahara Nisa Fadila
“Payah sekali sih! Ini kan kolam renang satu meter. Tinggimu berapa? Kau tidak malu dengan anak-anak SD itu?” rutuk Jen sambil terus berdecak kecewa.
“Iya aku tahu. Aku kan perlu waktu Jen. Mengertilah.” aku mengejar Jen dengan kedua tangan membekap hidung. Banyak sekali air yang masuk ke tubuhku, dan Jen malah memarahiku dalam keadaan buruk seperti ini?
“Lama-lama aku malas denganmu. Kau itu sebenarnya bisa, hanya saja terlalu manja dan tak mau sedikit berjuang. Kalo kayak gini terus, aku menyerah denganmu!”
Jen berjalan menjauh. Apa ini? Dia marah padaku? Seharusnya aku yang marah karena dia terus mengekangku untuk bisa. Jen sudah berubah menjadi menjijikan. Menyebalkan.
“Aku benci pada sisimu yang seperti ini Jen!” teriakku lantang. Namun Jen tak menggubris.
“Menyebalkan!” geramku lirih sambil menyaksikan tubuh tegapnya menjauh.
Mimpi apa aku semalam?
***
“Anne. Jen belum datang sedari tadi. Ada apa dengan kalian berdua?” tanya ibu sambil menyodorkan segelas susu cokelat kepadaku.
“Tidak kok. Dia bilang dia ada urusan dan harus datang lebih pagi. Aku hanya tidak mau menganggunya.”
Setelah dusta besarku pada ibu, aku pamit berangkat dan segera menuju garansi untuk mengambil sepeda. Kalo biasanya aku membonceng, hari ini aku terpaksa harus berangkat sendiri. Si menyebalkan itu ternyata benar-benar marah.
Ketika aku sampai di dekat penyeberangan, aku merasa seseorang mengikutiku dari belakang. Huft sebenarnya bukan hari ini saja. Akhir-akhir ini aku merasa seperti itu terus menerus. Aku tak tahu apakah ini hanya semacam fatamorgana atau tidak. Tapi yang jelas, ‘diikuti’ adalah hal yang misterius. Bagaimana jika ternyata yang sedang menguntitku adalah penjahat? Bagaimana jika aku menjadi sasaran pembunuhan atau semacamnya? Oh Tuhan.
Aku tersentak. Bukan karena aku tahu siapa yang mengikutiku. Tapi lebih karena di depan, tak jauh dari tempatku aku melihat Jen sedang berjalan dengan seorang wanita. Aku tidak mengenalnya, tapi dia terlihat cantik dimataku, mungkin juga dimata Jen. Ya Tuhan? Desiran apa ini. Aku merasa tak rela Jen dekat-dekat dengan wanita lain.
Dari pembicaraan yang kudengar. Mereka terlihat begitu akrab, begitu saling mengenal satu sama lain.
“Sudah lama sejak kelulusan SMP kita bisa berbicara berdua seperti ini.” ucap wanita itu. Nada suaranya terdengar begitu lembut. Seolah-olah diantara mereka memang ada hubungan khusus.
“Begitulah. Aku terlalu lemah setelah penolakan cintamu.” jawab Jen. Penolakan cinta? Jadi..
“Dengar Jen. Aku bukan menolak. Aku hanya perlu waktu. Kau tidak pernah mengerti!”
“Butuh waktu? Dan tiga tahun selama ini masih belum cukup?” Jen mempercepat jalannya. Namun wanita itu tak tinggal diam. Dia berlari mengejar Jen layaknya seorang balita yang menuntut suatu hal pada ibunya. Muka mereka sama merah. Tangan mereka sama bergetar. Dan hati mereka mungkin juga sama. Masih saling terpaut. Bagaimana ini? Kukira Jen menyukaiku. Ternyata dia masih terkurung pada masa lalunya. Kita memang tidak pernah bisa menebak bagaimana perasaan seseorang.
“Sekarang aku siap Jen. Tiga tahun aku belajar segalanya, dan sekarang aku siap.” teriak si wanita itu dengan suara memilukan. Sontak, Jen terhenti dan berbalik. Mata mereka saling bertemu diantara bias mentari pagi.
“Aku tau. Terimakasih telah mengatakannya padaku.” Jen merobohkan sepedanya dan bergegas memeluk si wanita.
Menyadarinya membuatku secara refleks terisak. Entah mengapa, aku tak bisa memperkuat pertahananku dan akhirnya ambruk begitu saja di lorong sempit antara dua toko. Mengapa aku harus menyaksikannya secara langsung?
***
“Ting tong” dering ponsel menyadarkanku. Entah sudah seberapa lama aku terpaku di sini dengan mata sebam. Aku tak pergi sekolah, tak juga berniat pulang ke rumah. Biar saja aku di sini, mati kelaparan, dan lenyap begitu saja dari kehidupan tanpa ada orang yang tahu. Aku tak peduli berapa kali lagi Jen mencoba menghubungiku. Toh dia yang sudah membuatku seperti ini, sudah memakiku saat di kolam renang, lantas membunuhku dengan acara pelukannya tadi pagi. Memang, aku tak berhak marah padanya karena aku sendiri cukup sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Tapi tetap saja, ini merumitkan.
“Akulah wanita paling sedih di dunia..” rutukku. Kutendang-tendangkan kakikku kearah depan, terus menerus. Sampai saat aku sadar bahwa ternyata, ada seseorang tengah berdiri di hadapanku.
Aku menatapnya. Nanar. Setengah percaya dan setengah tidak.
“Rey. Kau..” tadinya aku pikir ini hanya halusinasi, atau ini hanyalah hantu Rey yang mencoba menghiburku karena keterpukulan barusan. Namun sesaat saja sosok itu memegang tanganku. Terasa nyata.
“Maaf kemarin menabrakmu.” dia tersenyum. Senyum yang teramat manis namun asing di mataku. Aku paham, itu bukan senyum Rey. Itu juga bukan tatapan Rey. Lantas siapa yang saat ini tengah berada di hadapanku?
“Aku memang bukan Rey, tapi aku berharap kedatanganku di hadapanmu ini bisa membuatmu merasa lebih baik. Kalo kamu seperti ini terus menerus, Rey di sana pasti akan merasa sedih. Jadi, pulang dan kembalilah seperti semula.” ujar lelaki itu mengelus rambutku.
Aku terdiam sesaat. Sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Kau? Siapa? Kalau bukan Rey lantas siapa?” tanyaku dengan bibir bergetar.
“Hikari. Kembaran dari Rey. Mungkin dia merahasiakan ini darimu. Tapi saat dia pergi aku adalah orang yang paling terpukul selain kau dan juga keluargaku. Aku mati-matian mencari alamatmu hanya untuk mengatakan bahwa Rey tidak pernah tega melihatmu menangis. Jadi apapun yang terjadi, aku mohon jadilah ceria seperti Anne yang semula. Aku banyak tahu kau dari Rey, kau anak yang ceria bukan?” dia melepas tangannya dan mulai duduk di sampingku. Meski terlihat asing, namun secara keseluruhan Hikari memang mirip dengan Rey. 98%
Aku mengangguk. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk kembali mendengar nama Rey.
“Hikari. Jika aku menyukai laki-laki lain, apa Rey akan marah?” aku menatap matanya. Seolah-olah aku sedang meminta izin pada Rey secara langsung.
“Rey tidak akan marah. Justru dia akan senang jika itu membuatmu lebih bahagia. Oh iya, mengenai traumamu pada air kau harus segera mengakhirinya. Aku minta maaf karena akhir-akhir ini sering mengikutimu.” ujarnya sembari menyeringai. Jadi ternyata ia yang mengikutiku. Syukurlah aku batal menjadi buronan para penjahat. Aku selamat.
“Aku juga berfikir seperti itu. Hanya saja Jen tak bersedia lagi mengajariku. Jadi aku bingung harus bagaiman.”
“Kalo begitu, aku bersedia untuk mengajarimu. Buktikan pada Jen bahwa kamu bisa. Ganbatte yo!”
Dia tersenyum. Membuat kesedihanku seketika saja meluruh.
“Terimakasih Hikari. Aku akan menunggumu di kolam renang kota pukul sepuluh hari minggu. Mohon bimbingannya.”
Dia mengangguk penuh yakin.
Dia bukan Rey. Dia Hikari. Dan kehadirannya cukup membuatku lebih tenang. Mungkin, aku tidak bisa sepenuhnya mendapatkan hati Jen, tapi aku akan terus menyukainya selagi aku bisa. Seperti yang Hikari bilang, “Rey akan bahagia jika aku bahagia.”
=NEXT CHAPT 4=


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -