- Back to Home »
- Kuuki ( Air ) Chapter 4 [END]
Posted by : Zahara Nisa F
Sabtu, 14 Maret 2015
Kuuki
( Air ) Chapter 4 [END]
Oleh : Zahara Nisa Fadila
“Rey
akan bahagia jika kau bahagia”
***
Aku memelototi ponsel. Ada lebih dari seratus
panggilan tak terjawab dari Jen. Aku tahu ini bukan tanda khawatir, ini lebih
pada tanda merasa bersalah. Iya kan?
“Anne Jen diluar menunggumu.” teriak Ibu dari sudut
dapur. Aku mendengus. Kenapa Jen muncul terus menerus?
“Bilang saja aku sudah tidur Bu. Aku sedang capek
sekali.”
“Ibu tidak pernah mengajarimu berbohong kan? Jadi
cepat temui Jen. Kalau tidak, ibu akan menarik kembali uang bulananmu.”
Begitulah Ibu, selalu mengancam
dengan hal-hal mengerikan setiap kali aku tak menuruti perintahnya. Akhirnya,
dengan tanpa semangat aku berjalan sekonyong-konyong menuju teras rumah. Tempat
dimana aku mungkin akan ambruk lagi untuk kedua kalinya.
“Hei bodoh. Kemana saja kau? Kau juga tak mengangkat
teleponku. Mau menghindar?” Jen menghampiriku. Ekspresinya saat menghampiriku
sungguh berbeda dengan ekspresinya saat menghampiri wanita itu. Itu jelas.
“Kamu pikir urusanku cuma tentangmu? Hoam. Aku
memang sedang malas ke sekolah.” Jawabku sembari berjalan kearah kursi teras.
Mungkin pembicaraan ini bakal jadi pembicaraan yang panjang dan berarti,
pikirku.
“Bohong. Anne yang ku kenal bukan Anne yang seperti
itu!”
“Hm baiklah, aku akan jujur. Tapi kau juga harus jujur
padaku, siapa yang bersamamu tadi pagi?”
“Oh. Kau melihatnya? Itu temanku waktu SMP.” Jen
terbata. Apa maksud keterbataannya? Gugup?
“Lantas pelukan apa tadi? Pelukan kerinduan? Mengapa
mukamu merah saat berbicara dengannya?”
“Aku pacaran dengannya sekarang.” ujarnya, menunduk.
Kan, dia bahkan menghindar kontak mata dariku. Sudah kuduga. Rasanya aku ingin
ambruk seperti yang kuperkirakan tadi. Tapi tiba-tiba saja aku tak bisa
melakukannya karena ada Jen di hadapanku. Sesungguhnya, Jen adalah kekuatan.
“Kamu sudah pacaran, tapi mengapa kamu masih datang
kemari? Menapa kamu masih mencari-cariku? Menapa kamu bahkan datang kerumahku
hanya untuk memastikan aku ada atau tidak. Dan mengapa.. mengapa saat di depan toko baju berenang, kau
memegang pipiku dengan muka merah? Mengapa?” aku berteriak dengan suara
memilukan. Kristal bening menganak sungai di pelupuk. Aku bangkit dan berbalik,
menyembunyikan tangis darinya.
“Gome ne. aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku akan
pergi.” diapun bangkit dari kursi dan berlalu. Menjauh.
“Aku menyukaimu Jen. Apa kamu sadar?” teriakku.
Jen sempat berhenti dan berbalik, sebentar. Namun
dia tak menjawab. Sama sekali.
Aku ambruk. Kali ini benar-benar ambruk.
“Ya Tuhan! Menyakitkan sekali.”
***
“Aku sudah di lokasi. Kamu kapan datang?” bunyi
pesan Hikari. Aku segera bergegas menuju garasi dan mengayuh sepeda secepat
yang kubisa.
Sepuluh menit selang, aku sudah sampai di kolam
renang kota dan mencari-cari Hikari. Dia duduk di dekat loker dengan wajah
flat. Persis seperti Rey. Aku berlari menuju Hikari.
“Ohayou. Maaf membuatmu menunggu.” ujarku ngos-ngosan.
Membuat Hikari menjadi terpingkal menyaksikanya. Tawa yang sama dengan Rey. Aku
jadi merindukan Rey.
“Tak apa Anne. Ayo kita mulai saja. Kau, ganti
bajumu ya.”
Aku mengangguk dan segera mengganti baju. Kami mulai
latihan di kolam renang satu meter. Seperti yang kupinta. Aku tidak siap jika
harus langsung berlatih di kolam renang dua meteran.
“Oke. Menyelammu sudah bagus Anne. Kau tinggal mulai
berenang. Aku yakin kau akan cepat bisa karena traumamu sudah mulai menipis.
Ganbatte yo” Hikari meninggalkanku sendirian untuk berlatih.
Cukup mudah bagiku untuk meluncur dan mulai berenang
di kolam renang dalam. Mengapa latihan kali ini terasa begitu lancar? Jauh
berbeda dari latihanku sebelumnya dengan Jen. Mungkin, sugesti juga berpengaruh
ketika seseorang sedang berjuang.
Kalo kita percaya kita bisa, maka kita akan bisa.
Sekarang, aku mengerti itu. Selama ini aku tak bisa karena aku terlalu memanjakan
diriku dan tak mau mengambil resiko. Untuk menjadi bisa kita memang harus
berani mengambil resiko. Seperti saat berenang, kita harus berani tenggelam dan
rela menelan banyak air untuk benar-benar menjadi bisa.
“Yosh!” aku tersenyum pada Hikari. Hikari telah
membuatku kembali menemukan Anne yang seperti tiga tahun lalu. Aku telah
terlahir kembali. Anne tiga tahun lalu, itulah aku yang sekarang.
“Tidak sulit yah mengajarimu.” ucap Hikari. Sangat
berbalik dengan ucapan Jen setelah mengajariku beberapa hari lalu. Jen perlu
belajar pada Hikari bahwa saat kita hendak membuat orang mengerti, kita perlu
bersabar dan bersabar. Kita tidak perlu mengekangnya.
“Terimakasih Hikari. Aku senang bisa belajar renang
denganmu.”
“Aku juga. Semangat untuk ujian akhirmu.”
Kami sama-sama tersenyum. Mentari semakin terik
diatas kepala.
***
Ujian Akhir.
Suasana
di dekat loker murid sangat bising. Hari ini adalah ujian akhir materi
olahraga. Oke, setelah selesai melakukan cabang olahraga lain yang diujikan,
kali ini aku akan siap dengan cabang olahraga yang terakhir. Renang.
Meski ini
adalah kali pertamanya aku mengikuti jam renang, namun aku cukup yakin bisa
melampauinya berkat latihan kemarin dengan Hikari. Aku juga ingin membuktikan
pada Jen bahwa aku tak semanja yang dia pikir.
“Wah Anne-san. Kau ikut jam renang?” tanya Shinju,
teman sekelasku.
“Tadinya aku juga ragu-ragu, tapi setelah aku
pikir-pikir lagi, ini kan ujian akhir. Masa aku tidak ikut dan menyerah begitu
saja?”
“Haha, aku tahu kau itu kuat Anne-san. Mari berjuang!”
Aku berjalan beriringan dengan Shinju menuju kolam
renang sekolah. Di sana, semua anak tingkat tiga sudah berbaris rapi, siap
mengikuti penilaian. Aku juga melihat Jen. Dia menatap dan sedikit tersenyum, Namun
aku segera membuang muka.
Aku berdiri di seberang kolam, menunggu namaku
dipanggil sensei. Masih ada tiga puluh orang lagi di depanku. Cukup lama, dan
hal itu jelas membuatku berdebar-debar.
“Miharu Anne.” barisan tigapuluh orang sudah
berakhir dan sensei memanggil namaku. Aku tersentak. Dengan tangan yang
bergetar dan bibir yang terkatup aku melangkah menuju tempat untuk meluncur.
Dadaku berdentum keras, membuatku menjadi sedikit ragu. Namun karena semua mata
menatapku tak sabar, aku nekat meloncat dan mulai berenang.
Sesaat, kolam renang sekolah kabur dimataku, berubah
menjadi suasana laut yang kukunjungi bersama Rey sebelum kematian Rey tiga
tahun lalu. Aku terbelalak. Ya Tuhan, apa ini? Di hadapanku, aku melihat Rey,
atau Hikari, atau Rey, aku tak bisa mengenali apa itu Hikari atau Rey. Tapi, suasana
laut yang mencekam membuatku bergidik dan merasa takut.
“Anne. Aku bahagia kau sudah kembali. Aku bahagia
kau menjadi sekuat itu. Ingatlah, aku akan terus menyayangimu. Dan aku akan
bahagia selagi kau bahagia.” ucap sosok itu yang membuat aku seketika yakin
bahwa itu adalah Rey, jelmaan Rey, dan bukan Hikari.
Aku mengangguk dan terseyum, membuat suasana laut
itu kembali menjadi suasana kolam renang sekolah. Aku segera menuju tepi untuk
mengakhiri penilaianku. Saat aku beranjak dari kolam, semua mata menatapku
lagi. Tatapan-tatapan tak percaya.
“Anne-san. Kau hebat sekali. Aku kira kau tak pernah
bisa berenang.” ucap Shinju dengan mata berbinar-binar. Aku terbahak.
Di sudut ruangan, di dekat loker murid aku
menyaksikan Jen tengah menatapku. Aku menghampirinya.
Kami berhadapan dan saling terdiam. Tak tahu harus
memulai darimana. Semenjak pertengkaranku dengannya malam itu, aku memang tak
pernah lagi berbicara padanya.
“Anne.” Panggil Jen. Aku mendongak, menyaksikan
mukanya memerah. Sial.
“Ketika kita menyukai seseorang yang baru, bukan
berarti kita melupakan dan menghapus yang lama. Karena biar bagaimanapun, yang
lama lah yang lebih dulu membuat kita merasa bahagia.” lanjut Jen. Aku sudah
tahu pembicaraan ini akan mengarah kemana.
“Tapi saat kita terluka karena seseorang yang lama,
seseorang yang barulah yang paling berperan dalam proses pengembalian kita
menjadi lebih baik. Aku memang tidak bisa melupakan cinta pertamaku, tapi aku
jauh tak bisa lagi melupakanmu Anne. Karena kamulah yang membuat aku bangkit
setelah aku terjatuh dari cinta pertamaku.” Jen memegang pundakku. Menbuatku
terisak atas semua pengucapannya barusan.
“Aku mengerti Jen. Akupun merasa seperti itu. Aku
masih menyukai Rey, tapi aku juga menyukaimu.”
Mungkin kami memang sama. Kami sama-sama jatuh
setelah cinta pertama. Tapi tanpa kami sadari, kami juga saling membantu untuk
bangkit dan menemukan cinta yang lebih baru, yang lebih baik. Cinta pertama
memang takan terlupa tapi dia bisa tergantikan dengan sosok yang lebih baik.
Dan untuk sementara waktu, aku membiarkan jemari
kami saling terpaut, kami menangis bersama. Aku masih mengingat Rey, dan Jen
juga masih belum pergi dari cinta pertamanya.
“Aku sudah putus dengan dia semalam. Itu membuat dia
terpukul, tapi ini lebih baik. Jadi mau kah kau jadi pacarku Anne?”
Aku mengangguk.
Masih banyak cinta di dunia ini. Kita tak boleh
terus menerus terpaku hanya karena kita masih teringat seseorang yang sama.
Bangkit dan carilah cinta yang lebih baik. Perhatikan sekitarmu dan mulai
mengertilah dengan orang lain yang mencintaimu. Karena meski kita tak bisa
pergi dari cinta pertama, tapi kita juga tak bisa kembali terhadapnya.
Cinta itu siklus. Dan dia akan berkembang terus
menerus. Lahir, hidup, lalu mati.
=END=