Archive for 2017
[Cerpen - Zaharanisaf] Bolpoin Senter dan Tanda Tanya
By : Zahara Nisa F
"Bolpoin Senter dan Tanda Tanya"
Oleh: Zahara Nisa F
Oleh: Zahara Nisa F
(Tentang
pertemuan seorang Jurnalis dengan Mahasiswi semester akhir, di sudut kedai, pada suatu pagi yang basah)
***
Perempuan itu berjalan
dengan langkah terseret, sehingga dari balik sepatunya yang lusuh terdengar decit-decit
pelan yang makin lama makin membentuk irama. Tatapannya entah mengarah ke mana,
dan dari dua saku jaket kelabunya, menyembul bungkus-bungkus permen karet yang
kosong. Dia menyukai permen karet, tetapi benci menunggu.
Sebagaimana seorang
wanita pada umumnya, perempuan itu senang berharap. Ia menggantungkan harapan
itu tinggi-tinggi dan sesekali meleburkannya bersama kepul kopi yang disesapnya
setiap pagi, di sudut kedai bergaya Jepang, tempat pertama kali dirinya bertemu
si lelaki berkacamata.
“Ohayou Gozaimasu,
Ara-chan!” sapa seorang pelayan ketika Ara sampai di bagian tengah kedai. Gadis
itu terkesiap, lalu menunduk.
“Ohayou Chika-chan,”
jawabnya malu-malu, merasa tertangkap basah sedang berjalan sambil melamun.
Kebiasaan yang buruk.
“Pesanan seperti biasa,
Ara?”
“Yup.”
Setelah memastikan
jawabannya didengar pelayan, Ara melangkah menuju sebuah kursi yang terletak di
bagian paling sudut, di dekat rak buku-buku usang yang entah bagaimana selalu
menguarkan aroma magis yang membuat Ara betah lama-lama duduk di sana.
Selain karena buku-buku
itu, Ara juga menyukai kursi itu sebab di sana lah pertemuan pertamanya dengan
si lelaki berkacamata berlangsung. Laki-laki dengan pola pikir paling entah
yang pernah ditemuinya.
Pagi itu, gerimis turun
satu-satu. Namun lebih dari cukup untuk menghadirkan aroma sendu di setiap
penjuru kota. Seperti biasa, Ara berjalan menuju kedai langganannya, langkahnya
terseret, tatapannya kosong, dan ya, memang seperti itulah cara berjalan Ara.
Setelah memesan secangkir
vanilla latte, ia berjalan menuju
sudut kedai. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pagi itu ada sesuatu
yang janggal. Kursi favoritnya sudah ditempati oleh seorang laki-laki
berkacamata dengan sebuah kamera Nikon melingkar di lehernya. Laki-laki itu
menatap ke arah jendela, tempat dirinya bisa menyaksikan jalanan kota yang
ramai. Sesekali, ia mulai memotret sekeliling.
Sepersekian detik, Ara
terpana. Laki-laki itu tampak menawan duduk di antara buku-buku usang. Mata
sendunya yang dibalut frame cekatan menatap jalanan dan kameranya secara
bergantian. Menghadirkan pemandangan yang… entah.
Yang jelas, Ara menyukai
pemandangan itu. Sesuatu yang dapat dikatakan gila.
“Sumimasen?” Laki-laki
itu tampaknya menyadari keberadaan Ara.
Ara terbelalak, sedikit
kaget. “Umm, maaf. Saya cuma sedikit heran karena ternyata kursi favorit saya
sudah ditempati oleh orang lain.”
“Meja ini punya dua
kursi, kalo kamu tetap ingin duduk di sini, aku akan dengan senang hati
mempersilakannya.”
“Eh?”
“Aku serius. Siapa
namamu?’
“A-ra.”
Laki-laki itu tersenyum.
Ara sekali lagi terbelalak.
“Silakan duduk, A-ra.”
Ara duduk dengan raut
wajah ragu-ragu. Sekarang, tubuhnya tepat menghadap ke arah lelaki berkacamata.
Debar jantungnya beradu dengan suara gerimis yang makin lama makin deras.
“Cuaca pagi ini sedikit
menggangguku, aku seharusnya sudah berada di kantor,” celetuk lelaki itu.
Wajahnya terlihat lesu.
“Kau bekerja di mana?”
tanya Ara. Ia mencoba mencairkan suasana, dan tentu saja mencoba sedikit
meminimalisir detak jantungnya yang tak manusiawi.
“Redaksi. Aku seorang Jurnalis, dan pagi ini aku seharusnya datang tepat waktu, berangkat ke tempat
liputan dengan kru, lalu menggarap berita secepatnya. Tapi, ketika sepeda
motorku mulai menjauh dari apartemen, gerimis turun. Awalnya memang kecil, tapi
lama kelamaan bajuku basah juga. Sayang sekali aku lupa membawa jas hujan.”
“Oh jadi begitu. Pantas saya
tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Ara tersenyum kikuk.
“Semoga hujan lekas
berhenti. Meskipun sebenarnya… saya lebih suka hari-hari hujan,” lanjutnya.
Dari radius sekian meter,
tampak seorang pelayan mengantarkan pesanan Ara. Vanilla latte.
“Kau suka hujan?”
Laki-laki berkacamata tidak percaya. Baginya, bagaimana mungkin seseorang
menyukai hujan jika karena hujan, banyak kegiatan menjadi terkendala?
“Ya, sedikit. Hari-hari
hujan baik untuk jiwa yang tenang. Saya selalu benci kebisingan kota dan
kadangkala, memerlukan waktu untuk sendiri. Kedai ini kerap saya sebut sebagai pelarian.”
Ara mulai merasa rileks, setidaknya nada bicaranya sudah tidak terlihat gugup
lagi.
“Sepakat, aku juga kadang
benci bising. Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Tuntutan pekerjaan memaksaku untuk
pelan namun pasti merasa terbiasa.”
Ara mengangguk paham.
“Apalagi, akhir-akhir ini
aku disarankan untuk tidak banyak mengeluh. Proyek cukup besar tentang
pemberitaan kasus salah satu tokoh pemerintahan membuatku harus bekerja di
bawah tekanan. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa ternyata, menjadi seorang Jurnalis adalah profesi yang riskan. Setiap detik aku selalu diincar bahaya,
terutama ancaman dari oknum-oknum yang pro dan berpendapat kasus tersebut tidak
benar. Aku, kadang-kadang takut.”
Ara sempat berfikir
kenapa laki-laki di hadapannya ini seperti lancar sekali bercerita. Padahal,
bukannya mereka baru bertemu beberapa puluh menit yang lalu? Dia sendiri, masih
kesulitan berbicara, kenapa laki-laki ini justru tampak sebaliknya?
“Ngomong-ngomong kau
bekerja di mana?”
“Saya masih kuliah, Mahasiswi semester akhir. Sedang dipusingkan oleh skripsi.”
“Aku pernah melalui
masa-masa itu.”
Lelaki berkacamata itu
melirik arlojinya. Pukul 08.00 WIB.
“Sudah siang, aku
sepertinya harus menerobos hujan.”
Ara mengangkat bahu,
“Jangan melaluinya dengan terpaksa. Cukup menikmatinya saja, segalanya akan
terasa lebih menyenangkan,” pesan Ara sambil tersenyum.
Laki-laki itu balas
tersenyum, kemudian mulai bangkit dan meraih tasnya.
“Percakapan pagi yang
lumayan, terimakasih sudah mendengar ceritaku, A-ra.”
Setelah tersenyum sekali
lagi, laki-laki itu mulai melangkah menjauh. Berbeda dengan langkah Ara yang
terkesan seperti diseret, langkah lelaki itu tampak mantap.
Selepas kepergian lelaki
itu, ada yang terasa hilang. Ara mendengus, dia terlalu menikmati percakapannya
dengan lelaki berkacamata hingga ia lupa pada secangkir vanilla latte yang dipesannya. Kopi itu sekarang sudah dingin,
sedingin perasaannya. Ia malas-malas mereguk.
Saat matanya sekali lagi
menatap ke kursi bekas lelaki itu, ia menemukan sesuatu. Seperti sebuah bolpoin
yang tutupnya memiliki senter. Ara memungutnya.
Sial, Ara lupa tidak menanyakan
nama lelaki itu.
***
Sejak pagi itu, Ara tetap
mengulang kebiasaannya berkunjung ke kedai Jepang. Bedanya, ia diam-diam mulai
menyematkan doa di sela-sela rak. Bahwa semoga, ketika suatu saat gerimis turun
lagi, laki-laki itu bersedia kembali.
Laki-laki yang tidak
pernah ia ketahui siapa namanya.
***
Brebes, 14 September 2017
#Ikan_Mas
[Cerpen - Zaharanisaf] 381 Hari dan Ketakutan yang Tak Lekas-lekas
By : Zahara Nisa F
381 Hari dan Ketakutan yang Tak
Lekas-lekas
Oleh: Zahara Nisa F
***
“Bahwa
cinta selalu soal menerima dan berani terluka. Kalau kita mengaku mencintai
seseorang tapi merampas kebebasannya, mempermasalahkan perkara-perkara yang ada
dalam dirinya (padahal itu perkara kecil) serta tidak mau menerima seadanya,
maka sesungguhnya itu bukan cinta sebenar-benarnya cinta. Itu hanya upaya untuk
memuaskan egoisme saja”
***
“Dari segala kemungkinan
tentang kita yang selalu memenuhi pikiranku, ada satu hal yang paling membuatku
takut, Mas,” ujarku.
Lelaki
di sampingku hanya tersenyum, dipandangnya mataku lekat-lekat seperti tidak mau
lepas. Lalu ketika aku mulai kikuk dan menunduk, sudut bibirnya bergetar. “Apa
yang kau takutkan, Dik?”
Seperti sepasang kekasih
pada umumnya, kami senang menghabiskan waktu bersama, saling bertukar cerita,
berbagi resah, hingga memilin harap bersama. Hari berlalu, tahun berganti, dia
menjadi lelaki yang kemudian selalu menemaniku, meredakan gundah, menyelipkan
rasa tenang di setumpuk masalah yang kian hari kian membuatku resah.
“Takut aku jauh dari
kamu?” tanyanya lagi, merasa gemas karena sedari tadi aku cuma melamun, tak
kunjung menjawab.
Aku tersenyum, “Kalo cuma
kamu yang jauh, aku nggak papa asal hatimu tetap di sini bersamaku.”
“Terus?”
Sekawanan burung dara
terbang landai di sekitar kami, memberi kesan magis ala timur tengah yang entah
bagaimana membuat kebersamaan kami kali ini terkesan dramatis.
“Takut aku ketemu sama
perempuan yang lebih baik dari kamu?”
Aku kembali menggeleng.
Bertemu dengan seorang putri secantik apapun rasanya tidak masalah, selama
hatinya masih tetap untukku.
Ada kemungkinan lain yang
justru lebih mengerikan. Akh. Aku menunduk resah, meremas sisi kiri rok,
menyapu keringat yang sejak tadi membasahi telapak tanganku.
“Aku takut tiba-tiba saja
tidak memiliki kamu lagi. Kamu di sini, tetapi hatimu entah ke mana. Aku takut
segala tentang kita mendadak asing, tak lagi berarti di matamu.”
Lelaki itu tersenyum lalu
menatapku sekali lagi. Dia tak berkata apapun, tapi aku tahu betapa dari kedua
bola matanya yang sendu, ada energi begitu besar bernama keyakinan yang
mengalir dan membajiriku seketika. Membuat aku mendesah pelan, lalu entah
seperti apa prosesinya, ketakutan itu berangsur mereda. Dia mendekap dan
menenangkan bahkan hanya dengan menggunakan kedua bola matanya.
***
Perkenalan kami sudah
berusia ribuan hari, tetapi baru sekitar 381 hari kami betul-betul menjalani
kebersamaan dan memutuskan untuk saling menitipkan hati kami masing-masing
untuk sama-sama dijaga. Itulah yang begitu misteri dari kehidupan, kita kadang
tidak menyadari atau lebih tepatnya tidak mengerti dengan siapa hati kita akan
disandingkan, apakah dengan seseorang yang baru kita temui, atau justru dengan
seseorang yang sudah kita kenal sejak jauh-jauh hari.
Alfa, dulu, mana mungkin
aku berpikir bisa jatuh hati kepadanya. Melihat tindak tanduknya yang cuek bebek
saja aku sudah malas, apalagi membayangkan harus mengarungi hari-hariku
bersamanya, bisa-bisa aku lebih banyak kesal daripada bahagia.
Tetapi ternyata tidak,
sesuatu kadang tidak seperti yang terlihat atau yang kita bayangkan. Bersama
Alfa, aku belajar tentang banyak hal. Di balik sikapnya yang cuek, dia
menyimpan kesungguhan yang aku yakin sekali justru tidak dimiliki oleh
laki-laki picisan lain yang senang sekali mengumbar perhatian dan menjajakannya
sembarangan seperti dagangan yang kelewat tidak laku.
Memang, ada suatu saat
dimana aku merasa jenuh, bertanya mengapa dari sekian milyar laki-laki aku
harus jatuh cinta pada dia, laki-laki super cuek super jutek dan super tidak
peka. Tapi setiap kali sedang khilaf seperti itu, kesadaran dan akal sehat selalu
saja cepat-cepat memburuku.
Bahwa cinta selalu soal
menerima dan berani terluka. Kalau kita mengaku mencintai seseorang tapi
merampas kebebasannya, mempermasalahkan perkara-perkara yang ada dalam dirinya
(padahal itu perkara kecil) serta tidak mau menerima seadanya, maka
sesungguhnya itu bukan cinta sebenar-benarnya cinta. Itu hanya upaya untuk
memuaskan egoisme saja.
“Kamu pengen aku kayak
gimana, kayak cowo-cowo pada umumnya?” tanya Alfa suatu ketika. Tetapi aku
hanya menggeleng seirama. Jangan pernah susah payah menjadi orang lain hanya
demi membuat seseorang yang kita sayang bahagia. Karena sesungguhnya kita tetap
bisa membahagiakan mereka dengan tetap menjadi diri sendiri.
Cinta butuh dua orang
yang mau sama-sama berjuang. Yang satu berjuang mempersembahkan yang terbaik
dari dirinya, satunya lagi berjuang menerima, apapun dan bagaimanapun.
***
Kami masih duduk
bersisian, di antara kelepak burung dara dan senja yang makin jingga. Dedaunan gugur
di sekeliling kaki kami. Sudah kubilang, pertemuan kami kali ini, magis dan
dramatis.
Dalam hubungan ini, aku
selalu dijerat rasa takut. Takut kehilangan dirinya dengan berbagai cara. Takut
dia jatuh ke hati lain, menyembunyikan sepotong percakapan dengan wanita yang
entah siapa di ponselnya dan aku tidak sempat tahu. Takut kalau-kalau ada nama
lain yang lebih dia tunggu-tunggu muncul di notifikasi barnya daripada aku.
Takut dia jenuh, menyerah pada segala sikap menyebalkanku. Takut dia tiba-tiba
berubah. Dan ketakutan-ketakutan lain tentang bagaimana aku harus menjalani
hidup tanpanya.
“Anita?” Alfa membuyarkan
lamunanku. Membuatku seketika mendongak, menatap wajahnya yang meskipun sedang
duduk tapi tetap saja lebih tinggi dari aku.
“Kamu tahu apa obat dari
segala prasangka dan rasa takut?”
Aku tampak berpikir.
“Obat dari segala
prasangka dan rasa takut adalah rasa percaya,” Alfa menjawab pertanyaannya
sendiri dengan penuh kemantapan. Seolah, dia bisa menelusuri isi pikiranku dan
tahu perihal-perihal yang sedang mengganggu pikiranku.
“Waktu akan senantiasa bertambah.
381 hari kita besok-besok akan bertransformasi menjadi angka-angka lain yang
lebih banyak, ketakutanmu juga boleh jadi akan semakin memuncak, membuatmu
kewalahan. Tetapi rasa percaya, dia akan membuat kita tetap bertahan sebesar
apapun rasa takut itu sendiri. Rasa percaya, adalah obat dari segala prasangka
dan rasa takut.”
Dalam sekejap,
kata-katanya mencuri perhatianku.
“Tetaplah percaya padaku,
Anita. Tetaplah percaya bahwa bagaimanapun, Alfa akan selalu kembali kepada
Anitanya, sejauh apapun ia pergi.”
Ada desir yang seketika
merdu melagu di seisi diriku. Potret Alfa melebur bersama jingga dan kelepak
burung dara yang semakin senja semakin bertambah jumlahnya.
Ah Alfa benar. Waktu akan
terus bertambah dan prasangkaku tentangnya boleh jadi makin membuatku kalut.
Tetapi rasa percaya, akan selalu membuat aku tidak pernah bosan mencintainya,
seperti apapun keadaan berubah.
Alfa, jika suatu hari
nanti kau harus pergi, aku takut tidak bisa mencintai siapa-siapa sebesar aku
mencintaimu lagi.
***
Brebes, 7 Mei 2017
#Ikan_Mas