Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Senin, 18 September 2017



"Bolpoin Senter dan Tanda Tanya"
Oleh: Zahara Nisa F
(Tentang pertemuan seorang Jurnalis dengan Mahasiswi semester akhir, di sudut kedai, pada suatu pagi yang basah)
            ***

Perempuan itu berjalan dengan langkah terseret, sehingga dari balik sepatunya yang lusuh terdengar decit-decit pelan yang makin lama makin membentuk irama. Tatapannya entah mengarah ke mana, dan dari dua saku jaket kelabunya, menyembul bungkus-bungkus permen karet yang kosong. Dia menyukai permen karet, tetapi benci menunggu.
Sebagaimana seorang wanita pada umumnya, perempuan itu senang berharap. Ia menggantungkan harapan itu tinggi-tinggi dan sesekali meleburkannya bersama kepul kopi yang disesapnya setiap pagi, di sudut kedai bergaya Jepang, tempat pertama kali dirinya bertemu si lelaki berkacamata.
“Ohayou Gozaimasu, Ara-chan!” sapa seorang pelayan ketika Ara sampai di bagian tengah kedai. Gadis itu terkesiap, lalu menunduk.
“Ohayou Chika-chan,” jawabnya malu-malu, merasa tertangkap basah sedang berjalan sambil melamun. Kebiasaan yang buruk.
“Pesanan seperti biasa, Ara?”
“Yup.”
Setelah memastikan jawabannya didengar pelayan, Ara melangkah menuju sebuah kursi yang terletak di bagian paling sudut, di dekat rak buku-buku usang yang entah bagaimana selalu menguarkan aroma magis yang membuat Ara betah lama-lama duduk di sana.
Selain karena buku-buku itu, Ara juga menyukai kursi itu sebab di sana lah pertemuan pertamanya dengan si lelaki berkacamata berlangsung. Laki-laki dengan pola pikir paling entah yang pernah ditemuinya.
Pagi itu, gerimis turun satu-satu. Namun lebih dari cukup untuk menghadirkan aroma sendu di setiap penjuru kota. Seperti biasa, Ara berjalan menuju kedai langganannya, langkahnya terseret, tatapannya kosong, dan ya, memang seperti itulah cara berjalan Ara.
Setelah memesan secangkir vanilla latte, ia berjalan menuju sudut kedai. Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, pagi itu ada sesuatu yang janggal. Kursi favoritnya sudah ditempati oleh seorang laki-laki berkacamata dengan sebuah kamera Nikon melingkar di lehernya. Laki-laki itu menatap ke arah jendela, tempat dirinya bisa menyaksikan jalanan kota yang ramai. Sesekali, ia mulai memotret sekeliling.
Sepersekian detik, Ara terpana. Laki-laki itu tampak menawan duduk di antara buku-buku usang. Mata sendunya yang dibalut frame cekatan menatap jalanan dan kameranya secara bergantian. Menghadirkan pemandangan yang… entah.
Yang jelas, Ara menyukai pemandangan itu. Sesuatu yang dapat dikatakan gila.
“Sumimasen?” Laki-laki itu tampaknya menyadari keberadaan Ara.
Ara terbelalak, sedikit kaget. “Umm, maaf. Saya cuma sedikit heran karena ternyata kursi favorit saya sudah ditempati oleh orang lain.”
“Meja ini punya dua kursi, kalo kamu tetap ingin duduk di sini, aku akan dengan senang hati mempersilakannya.”
“Eh?”
“Aku serius. Siapa namamu?’
“A-ra.”
Laki-laki itu tersenyum. Ara sekali lagi terbelalak.
“Silakan duduk, A-ra.”
Ara duduk dengan raut wajah ragu-ragu. Sekarang, tubuhnya tepat menghadap ke arah lelaki berkacamata. Debar jantungnya beradu dengan suara gerimis yang makin lama makin deras.
“Cuaca pagi ini sedikit menggangguku, aku seharusnya sudah berada di kantor,” celetuk lelaki itu. Wajahnya terlihat lesu.
“Kau bekerja di mana?” tanya Ara. Ia mencoba mencairkan suasana, dan tentu saja mencoba sedikit meminimalisir detak jantungnya yang tak manusiawi.
“Redaksi. Aku seorang Jurnalis, dan pagi ini aku seharusnya datang tepat waktu, berangkat ke tempat liputan dengan kru, lalu menggarap berita secepatnya. Tapi, ketika sepeda motorku mulai menjauh dari apartemen, gerimis turun. Awalnya memang kecil, tapi lama kelamaan bajuku basah juga. Sayang sekali aku lupa membawa jas hujan.”
“Oh jadi begitu. Pantas saya tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Ara tersenyum kikuk.
“Semoga hujan lekas berhenti. Meskipun sebenarnya… saya lebih suka hari-hari hujan,” lanjutnya.
Dari radius sekian meter, tampak seorang pelayan mengantarkan pesanan Ara. Vanilla latte.
“Kau suka hujan?” Laki-laki berkacamata tidak percaya. Baginya, bagaimana mungkin seseorang menyukai hujan jika karena hujan, banyak kegiatan menjadi terkendala?
“Ya, sedikit. Hari-hari hujan baik untuk jiwa yang tenang. Saya selalu benci kebisingan kota dan kadangkala, memerlukan waktu untuk sendiri. Kedai ini kerap saya sebut sebagai pelarian.” Ara mulai merasa rileks, setidaknya nada bicaranya sudah tidak terlihat gugup lagi.
“Sepakat, aku juga kadang benci bising. Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Tuntutan pekerjaan memaksaku untuk pelan namun pasti merasa terbiasa.”
Ara mengangguk paham.
“Apalagi, akhir-akhir ini aku disarankan untuk tidak banyak mengeluh. Proyek cukup besar tentang pemberitaan kasus salah satu tokoh pemerintahan membuatku harus bekerja di bawah tekanan. Lama-lama aku mulai menyadari bahwa ternyata, menjadi seorang Jurnalis adalah profesi yang riskan. Setiap detik aku selalu diincar bahaya, terutama ancaman dari oknum-oknum yang pro dan berpendapat kasus tersebut tidak benar. Aku, kadang-kadang takut.”
Ara sempat berfikir kenapa laki-laki di hadapannya ini seperti lancar sekali bercerita. Padahal, bukannya mereka baru bertemu beberapa puluh menit yang lalu? Dia sendiri, masih kesulitan berbicara, kenapa laki-laki ini justru tampak sebaliknya?
“Ngomong-ngomong kau bekerja di mana?”
“Saya masih kuliah, Mahasiswi semester akhir. Sedang dipusingkan oleh skripsi.”
“Aku pernah melalui masa-masa itu.”
Lelaki berkacamata itu melirik arlojinya. Pukul 08.00 WIB.
“Sudah siang, aku sepertinya harus menerobos hujan.”
Ara mengangkat bahu, “Jangan melaluinya dengan terpaksa. Cukup menikmatinya saja, segalanya akan terasa lebih menyenangkan,” pesan Ara sambil tersenyum.
Laki-laki itu balas tersenyum, kemudian mulai bangkit dan meraih tasnya.
“Percakapan pagi yang lumayan, terimakasih sudah mendengar ceritaku, A-ra.”
Setelah tersenyum sekali lagi, laki-laki itu mulai melangkah menjauh. Berbeda dengan langkah Ara yang terkesan seperti diseret, langkah lelaki itu tampak mantap.
Selepas kepergian lelaki itu, ada yang terasa hilang. Ara mendengus, dia terlalu menikmati percakapannya dengan lelaki berkacamata hingga ia lupa pada secangkir vanilla latte yang dipesannya. Kopi itu sekarang sudah dingin, sedingin perasaannya. Ia malas-malas mereguk.
Saat matanya sekali lagi menatap ke kursi bekas lelaki itu, ia menemukan sesuatu. Seperti sebuah bolpoin yang tutupnya memiliki senter. Ara memungutnya.
Sial, Ara lupa tidak menanyakan nama lelaki itu.
***
Sejak pagi itu, Ara tetap mengulang kebiasaannya berkunjung ke kedai Jepang. Bedanya, ia diam-diam mulai menyematkan doa di sela-sela rak. Bahwa semoga, ketika suatu saat gerimis turun lagi, laki-laki itu bersedia kembali.
Laki-laki yang tidak pernah ia ketahui siapa namanya.
***
Brebes, 14 September 2017
#Ikan_Mas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -