Archive for 2019
[Cerpen - Zaharanisaf] Sebuah Lagu dan Ingatan Tentang Mantan Kekasih
By : Zahara Nisa F
Sebuah
Lagu dan Ingatan Tentang Mantan Kekasih
Zahara
NF
***
Bagiku,
segala yang selesai biar selesai secara sempurna.
***
Ketika aku memutar lagu
itu, ingatan tentangmu menjadi sangat dekat.
Entahlah. Padahal
akhir-akhir ini, kamu sudah terasa begitu asing. Maksudku, katakanlah ketika aku tidak sengaja mendengar salah
seorang teman menyebut namamu, atau menemukan potret wajahmu di postingan
mereka, aku seperti sedang mendengar atau melihat seseorang yang tidak pernah
kuketahui, seseorang yang tidak pernah ada dan mengisi hari-hariku selama beberapa tahun belakangan, seseorang yang tidak pernah membuatku jatuh cinta dan patah
hati hingga nyaris gila. Aku seperti tidak pernah mengenalmu, dan kita seperti
tidak pernah berjumpa.
Tetapi malam ini, ketika
aku memutar lagu itu di ruang kamarku yang hanya seukuran 3x3 meter, segala
ingatan tentangmu tiba-tiba hadir begitu saja. Mereka menyergap masuk tanpa
mengetuk pintu. Dan sejurus kemudian, aku mengingat perjumpaan terakhir kita.
Malam itu, kita duduk
bersisian di sebuah kursi yang menghadap ke arah pohon mangga. Kau mengenakan
sebuah kemeja berwarna biru, sedang aku begitu kikuk dalam balutan jins dan
kaus putih –tanpa hijab. Kau begitu marah ketika tahu aku memutuskan untuk
melepas identitas sakral itu dari kepalaku, tetapi kau hanya pasrah sebab aku
begitu keras kepala. Tadinya kupikir kau meninggalkanku karena alasan itu, ternyata,
lebih dari itu kita memang sudah tak lagi searah. Sudah tidak cocok. Sudah
tidak bisa lagi bersatu.
“Anjani, jangan menangis,” katamu
waktu itu, begitu pelan dan lembut.
Mataku memang berkaca-kaca, Sakti, tetapi aku tidak sedang ingin menangis. Aku sedang menerawang, membayangkan bagaimana aku harus melalui hari-hari depan tanpamu. Kau tampak sama takutnya. Bedanya, kau punya harapan, semacam keinginan yang kuat untuk lepas karena kau mendambakan kebebasan.
Mataku memang berkaca-kaca, Sakti, tetapi aku tidak sedang ingin menangis. Aku sedang menerawang, membayangkan bagaimana aku harus melalui hari-hari depan tanpamu. Kau tampak sama takutnya. Bedanya, kau punya harapan, semacam keinginan yang kuat untuk lepas karena kau mendambakan kebebasan.
Apakah hubungan ini
membuatmu tak bebas? Tanyaku waktu itu, tentu saja aku menanyakannya di dalam
hati. Sebab aku sendiri tahu, pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan retoris;
sudah pasti jawabannya adalah iya. Kamu terkekang. Aku juga. Hanya saja, aku
tak pernah benar-benar mengakuinya sebab aku terlalu takut kehilanganmu.
“Juga, jangan menyakiti
dirimu sendiri,” kamu kembali bicara dengan nada suaramu yang pelan,
setengah merengek. Kau tentu sudah mendengar cerita tentang aku yang menenggak
sekian bungkus obat warung selepas kita bertengkar, aku yang bersikeras ingin
mati, aku yang tidak lagi punya gairah untuk hidup. Aku sendiri merasa semua
cerita itu begitu mengenaskan.
Sekian menit aku hanya
diam. Kuhirup sekuat mungkin sisa-sisa aroma tubuhmu sebelum esok aku tak lagi
mampu menghirupnya dari jarak sedekat ini. Sesekali, pandangan mata kita
bertemu, tetapi aku sudah tak menemukan binar apapun lagi di sana. Detik itu
juga aku tahu, kamu sudah tak mencintaiku.
“Kita masih bisa
berteman, An, kamu masih bisa menghubungiku kapanpun kamu butuh,” kamu berusaha
meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi semua hanya omong
kosong. Setelah ini, jangankan berusaha menghubungimu, mendengar namamu saja
aku pasti tidak akan kuat.
Aku tahu, kau tidak
benar-benar ingin memutus perkenalan kita. Sebaliknya, kau ingin sekali kita
kembali bersahabat seperti dulu. Sebab hubungan kita memang lebih dekat dan
tulus ketika masih menjadi sepasang sahabat. Tetapi aku menolak, bagiku, segala
yang selesai biar selesai secara sempurna. Aku merasa tidak lagi mungkin
menjadi sahabatmu sebab menjadi sahabat berarti bersedia mendengar segala
ceritamu, bagaimana jika nanti kau bercerita tentang perempuan yang kau sukai?
Seperti dulu ketika kau bercerita tentang mantan kekasihmu yang pertama, dan
yang kedua, atau perempuan yang tidak sempat kau pacari karena sudah lebih dulu
bertemu aku. Bagaimana mungkin aku bisa?
“Sakti, apakah kau
mencintaiku?” Di antara bayangan-bayangan mengerikan itu, aku bertanya kepadamu
dengan penuh harap. Aku berharap jawabannya adalah iya. Aku berharap kamu
segera mengurungkan niatmu untuk berpisah. Aku berharap….
“Tentu, Anjani.
Kau sendiri tahu, aku tidak mudah berhenti ketika mencintai seseorang.”
Tetapi jelas sekali waktu
itu, kamu sedang berbohong. Seseorang telah membawa cintamu pergi. Begitu jauh.
Begitu tak terjangkau.
Pembicaraan kita malam
itu seolah tak menemui ujung, maka kita (atau lebih tepatnya kau) memutuskan
untuk menyudahinya. Meski ada begitu banyak pertanyaan di kepalaku, meski ada
begitu banyak kerinduan yang belum sempurna kutuntaskan.
“Sudah malam. Lebih baik kamu tidur, kapan-kapan kalo ada kesempatan, kita bicarakan lagi,”
katamu waktu itu seraya mempersilakanku kembali ke kamarku. Aku menuruti
permintaanmu, lalu kau bergegas kembali menuju kotamu.
Selepas kita akhiri pertemuan
itu, kau dan aku masih berkomunikasi. Kau menanyakan kabarku,
mengkhawatirkanku, kita seperti teman baik yang saling peduli. Hingga pada
suatu hari, ketidakmampuanku memilikimu benar-benar membuatku tersiksa, lalu
aku memutuskan pergi dari kehidupanmu. Aku menutup segala akses bagimu untuk
menemukanku. Aku menjauh. Aku bersikeras menenangkan diri. Kau seperti sudah
paham dan kau melepasku begitu saja. Seolah momen ini lah yang sebenarnya
sedang kau tunggu-tunggu. Kemudian kita menjadi saling asing, aku
perlahan-lahan melupakanmu.
Sampai hari ini. Aku
sebenarnya sudah hampir selesai dengan kisah ini ketika tiba-tiba saja mp3 player-ku memutar lagu itu. Lagu
yang membuatku begitu penasaran dan diam-diam ingin tahu kabarmu.
***
Pada akhirnya, aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak mencari tahu tentangmu. Dengan
sedikit cemas, aku membuka salah satu aplikasi media sosial yang kupakai.
Kutulis namamu pada kolom pencarian. Aku memejamkan mata sambil menunggu proses
loading selesai. Ketika aku membuka mata, layar ponselku menampilkan
informasi tentang akunmu.
Tidak banyak yang
berubah, kecuali bagian foto profil yang tentu saja sudah kau ganti (semula
kamu memasang foto profil bersamaku), kau tampaknya juga sudah menghapus segala
postingan yang berkaitan denganku, juga sudah mengganti bio.
Aku terus menekuri isi
kronologimu hingga akhirnya, pencarianku tiba pada postinganmu yang paling
baru; sebuah foto dengan latar pantai, di dalam frame itu tampak siluet dua
orang manusia, kau dan entah siapa. Di bagian caption kau menulis; if something is destined for you, never in a
million years will it be for somebody else. Tulismu seraya menyebut salah satu akun.
Ada yang terasa gugur di
dalam dadaku, seiring dengan suara Armada yang menyanyikan bagian reff; Harusnya aku yang di sana
dampingimu dan bukan dia, harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia…. [*]
Yogyakarta, 18 Agustus 2019
[Cerpen - Zaharanisaf] Braga dan Rindu yang Tiba-tiba
By : Zahara Nisa F
Braga
dan Rindu yang Tiba-tiba
Zahara
NF
***
“Mencintai
bukanlah kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf karena telah mencintai
seseorang?”
***
Gadis itu berteduh di
depan sebuah ruko yang baru saja dibuka. Sekarang pukul empat sore, batinnya. Sebagian besar ruko di jalan
Braga memang baru buka ketika sore.
Di hadapannya,
orang-orang berlalu lalang mengenakan payung. Gadis itu lupa membawa payungnya, ia terlalu terburu-buru ketika memutuskan untuk keluar dari
indekosnya demi membunuh rasa bosan dan mengobati suntuk. Maka, karena tidak
mungkin menerobos hujan, ia memutuskan berteduh di depan sebuah ruko dengan
arsitektur bangunan tua khas bangunan-bangunan di Eropa.
Hidupnya semenjak
kepergian laki-laki itu begitu stagnan. Ia bangun di pagi hari, makan, membaca
buku dan kadang-kadang menonton serial kartun favoritnya sampai sore, lalu ia
tetap berada di ranjangnya hingga larut malam. Ia tidak punya kesibukan selain
mengenang mantan kekasihnya, memutar lagu-lagu galau, lalu menangis sepanjang
hari (itupun kalau kegiatan-kegiatan semacam itu bisa dikatakan kesibukan).
Kerjaannya di salah satu
perusahaan advertisting berantakan, ia tidak bisa fokus di kantor sehingga ia
terpaksa harus diberhentikan. Sementara saldo tabungannya kian menipis. Kadang-kadang,
gadis itu berpikir, kenapa patah hati sebegitu menyebalkannya?
Ruko tempat ia berteduh
adalah sebuah restoran kecil, yang jika dibandingkan dengan restoran-restoran
lain di sepanjang jalan Braga jelas kalah glamour. Restoran itu hanya memiliki
satu pelayan yang sekaligus merangkap sebagai kasir dan juru masak. Gadis itu
memutuskan masuk saat mendengar Fix You
diputar melalui pengeras suara yang diletakkan di bagian paling pojok, di dekat
kasir.
“Moccacino satu, Teh[1]”
gadis itu menyebutkan pesanannya tanpa membuka daftar menu. Moccacino adalah
minuman favoritnya sejak masih duduk di bangku SMA. Semua teman-temannya sudah
hafal, jika mereka pergi bersama gadis itu ke sebuah kedai kopi, maka minuman
yang akan dipesan gadis itu pastilah secangkir Moccacino hangat.
Sembari menunggu pesanan,
gadis itu membuka gawainya. Ia teringat percakapannya dengan seorang perempuan
yang tiba-tiba saja mengirim Whatsapp
tadi pagi. Perempuan itu memasang foto profil dengan Arya –mantannya, dan
mengajukan permintaan maaf karena telah jatuh cinta kepada laki-laki itu.
“Mencintai bukanlah
kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf karena telah mencintai seseorang?”
begitu yang disampaikan oleh gadis itu kepada kekasih baru Arya, tadi pagi.
Tentu saja ia mengucapkannya dengan keadaan hati yang berantakan, dengan
memaki-maki Arya, kenapa sih gampang
banget dapet yang baru, padahal belum juga sebulan putus!
Tetapi lambat laun gadis
itu menyadari, berpisah dengan Arya berarti bersiap jika saja sewaktu-waktu
Arya menemukan perempuan lain sebagai penggantinya. Ia harus bersiap untuk
digantikan. Untuk dilupakan.
Pesanan datang ketika
tiba-tiba gawainya berdering.
“Halo? Rani?” sapa suara
dari balik telepon.
Suara laki-laki itu
begitu familiar, Rani (nama gadis itu) sedang merka-nerka siapa pemilik suara
tersebut ketika akhirnya orang di seberang telepon berujar,
“Aku Angga, masa lupa
sih? Teman satu kelasmu di SMA dulu. Tadi aku lihat snapgram-mu lagi di Braga. Aku juga lagi di Braga nih, ketemu yuk?”
***
Studio itu berukuran 5x5
meter dengan dinding warna putih dan kanvas yang tergeletak di mana-mana.
Seorang laki-laki dengan kemeja berwarna putih dan jeans denim tengah duduk di
kursi kerja, tangannya membereskan kertas-kertas entah apa. Rani masuk ke dalam
studio setelah diarahkan oleh perempuan yang berjaga di depan bangunan.
“Hei, Rani! Long time no see!” Angga buru-buru
menyalami Rani ketika melihat gadis itu masuk studio. Rani sama kagetnya
menyaksikan Angga yang sudah banyak berubah.
Semua lukisan di ruangan
ini begitu indah. Kebanyakan menggambarkan potret perempuan. Gambar-gambar yang
tadinya hanya Rani saksikan di feeds
Intagram Angga akhirnya ia saksikan secara langsung.
“Temenku sudah jadi
pelukis, gila ya.” Rani menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum. Angga
dulu adalah laki-laki yang pemalu dan enggan mengeksplorasi kemampuannya. Ia
sudah melukis sejak SMA tapi sedikit sekali yang tahu karena laki-laki itu
memang tidak pernah mempublikasikannya di manapun, juga tidak pernah
mengikutsertakannya dalam lomba. Hanya teman-teman kelas yang tahu, juga
beberapa teman ekstrakurikuler jurnalistik (termasuk Rani).
“Ya begitulah, Ran.
Lambat laun aku sadar, sudah waktunya aku melepas karya-karyaku ke hadapan
dunia. Bener katamu dulu, belum afdol kalo lukisanku belum dilihat oleh orang,
gimana pesannya bakal sampai kalo ngga ditunjukin ke orang-orang.”
“Loh sampai masih ingat
kata-kataku, Ngga?”
“Aku selalu ingat kamu.”
Ada getar dalam suara
Angga, seketika keadaan menjadi canggung.
Pikiran Rani mengembara
menuju kenangan-kenangan masa SMA, hari-hari ketika Angga dan dirinya begitu
dekat. Selain teman satu kelas, Angga juga teman di beberapa ekskul seperti jurnalistik,
teater, dan paduan suara. Kondisi yang mengharuskan mereka selalu bertemu
membuat Angga pada akhirnya menyadari, ada bagian dari matanya yang jatuh ke dalam
mata Rani setiap pandangan mereka bersinggungan. Atau ibaratnya, dirinya jatuh
cinta. Tetapi Rani tidak membalas perasaan itu, sebab dirinya sudah lebih dulu
mencintai Arya.
“Maaf,” suara Rani begitu
lirih dan diliputi perasaan bersalah. Gadis itu menunduk dalam-dalam,
memperhatikan ujung sepatu ketsnya yang lusuh. Kadang-kadang ia bertanya kepada
dirinya sendiri, kenapa dia memilih Arya? Kenapa perempuan mencintai laki-laki
yang menyakitinya?
“Kenapa minta maaf, Ran?”
Angga bertanya ragu-ragu, mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya. Mereka
tiba-tiba terlibat dalam hening yang begitu syahdu.
Di kepala Rani, wajah
Angga dan Arya berkelebat secara bergantian. Ia terkenang hari-harinya
memperjuangkan Arya, hari-harinya menangisi Arya di samping Angga. Hari-hari
setelah tahu bahwa Angga menyimpan perasaan kepadanya dan hubungan mereka
sesudahnya yang lantas menjadi canggung.
“Maaf karena dulu aku
mencintai Arya. Maaf sudah membuatmu terluka.”
Angga tersenyum. Laki-laki
itu, sejak dulu selalu saja penuh rasa sabar. Diraihnya tangan Rani,
sehingga Rani yang semula menunduk berangsur mengangkat kepalanya. Pandangan mereka
bertemu; pandangan yang selalu membuat Angga jatuh.
“Mencintai bukan
kesalahan, Ran. Jadi, tidak perlu meminta maaf karena telah mencintai seeorang.”
Sejurus kemudian, semesta
di sekeliling mereka berhenti bergerak.
***
Kalijurang, 11 Juli 2019