Archive for 2016
[Cerpen - Zaharanisaf] Ruang Tunggu Stasiun
By : Zahara Nisa F
Ruang
Tunggu Stasiun
Oleh: Zahara
Nisa Fadila
“Aku tidak suka
stasiun. Ia selalu identik dengan perpisahan, dengan kerinduan. Coba saja, sepanjang
hari ini, telah berapa kali stasiun ini menjadi saksi perpisahan? Anak dengan
ibunya, suami dengan istrinya, kakak dengan adiknya, kekasih dengan
kekasihnya.” Aku duduk takzim seraya menyilangkan tangan di depan dada.
Denta
yang semula tengah asyik membaca koran tiba-tiba menghentikan aktivitasnya,
lalu berganti menatapku, “Kamu sedang memikirkan apa, sih?”
Aku tertawa, tapi
kemudian di detik berikutnya, tawaku sirna. “Aku sedang membayangkan, mungkin
stasiun ini juga kelak akan menjadi saksi perpisahan kita.”
“Adira, aku ngajak kamu
ke sini itu untuk refreshing, untuk bersenang-senang, kamu kok malah jadi mikirin
yang begitu-begitu,”
“Iya tapi tetep aja,
Ta….”
Saat ini, aku dan Denta
tengah duduk di ruang tunggu stasiun. Meskipun sebenarnya, tidak ada
siapa-siapa yang sedang kami tunggu. Kami memang suka begitu, berpindah dari
satu tempat ke tempat lain hanya untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal.
Seperti saat ini misalnya.
“Ya sudahlah tidak usah
dipikirkan lagi. Kamu laper? Yuk cari makan!”
Denta berhasil
mengalihkan pembicaraan karena aku yang memilih untuk mengalah dan tidak ambil
pusing lagi soal perpisahan kita yang mungkin akan terjadi tidak lama lagi.
Beberapa saat kemudian,
aku bangkit dan mengikuti langkah Denta yang mengarah ke gerobak ketoprak.
***
Dan begitu lah waktu
berlalu, amat cepat. Tahu-tahu saja, aku dan Denta telah terpisah ratusan kilometer.
Dia mengejar mimpinya,
begitu pun aku. Ayolah, impian Denta tidak melulu soal aku. Juga sebaliknya,
impianku tidak melulu soal Denta. Sebelum kami benar-benar memutuskan untuk
bersama, ada yang harus kami urus terlebih dahulu.
Denta jarang sekali memberi
kabar. Barangkali, dia memang sedang sangat sibuk. Aku juga tidak berani
memulai percakapan lewat jejaring sosial. Biarlah Denta fokus dulu dengan
mimpi-mimpinya, pikirku. Tapi, meskipun intensitas percakapan kita sedikit
sekali, perasaanku terhadapnya selalu sama.
Hari-hari tanpa Denta
adalah hari-hari yang panjang. Aku selalu tiba-tiba saja didera rindu, bahkan
di tengah-tengah waktu sibukku. Merindukan Denta adalah hal paling membosankan
yang herannya tidak pernah bosan aku lakukan.
Saat ini, aku bekerja
sebagai seorang editor di salah satu penerbit di jantung kota. Setiap pagi, aku
akan menyusuri trotoar dari rumah ke kantor dengan perasaan riang sebab aku
selalu merasa bahwa pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar.
Tapi sesampainya di
kantor, aku bisa mendadak merindukan Denta. Aku seperti mampu menemukan Denta
di manapun. Termasuk di sela-sela aksara ketika aku sedang bekerja sebagai
editor. Denta selalu pandai membuatku kembali merindukannya.
Seperti siang ini, saat
aku tiba-tiba saja resah hanya karena Joni mengantarkanku secangkir cappucino. Cappucino adalah minuman kesukaan Denta dan demi apa pun, ini
membuatku tiba-tiba saja memikirkannya.
“Ayo dong, diminum,”
ujar Joni saat melihatku yang hanya termangu menatapi secangkir cappucino
buatannya.
“Kamu panas-panas gini
kasih cappucino mendidih. Itu gila
sekali, Joni!”
Joni tertawa, “Seleramu
kan biasanya beda, Adira.”
Aku mencibir. Ah, Joni
selalu seperti itu.
Ngomong-ngomong, Joni
adalah pria terdekatku di kantor. Orang-orang sering menggosipkan kami. Tapi
meskipun begitu, kehadiran dia tidak pernah bisa menggantikan Denta yang
sepertinya telah mendarah daging dalam ingatanku.
“Ada apa lagi Adira?
Kangen Denta?” Joni akhirnya mendengus sebal setelah bosan menyaksikanku yang
cuma bisa diam.
“Kamu kenapa sih? Denta
lagi Denta lagi. Nggak ada lagi yang lebih penting dari dia apa?” ketus Joni.
Aku diam. Benar Joni,
tidak ada yang lebih penting dari Denta.
“Adira….”
Aku mendongak,
menyaksikan raut wajah Joni yang sepertinya kelelahan karena lembur.
“Berhenti merindukan
seseorang yang belum tentu balas merindukanmu. Denta itu laki-laki, dia bisa
mengkhianati kamu kapan pun. Barangkali saja dia tidak pernah memberi kabar
kepadamu karena dia sudah menemukan yang lain di—“
“Denta bukan laki-laki
yang seperti itu! Kamu kenapa sih selalu berpikiran buruk soal Denta?” Aku
bangkit dan tiba-tiba saja menyadari bahwa nada suaraku meninggi.
“Kamu tanya kenapa?
Karena aku menyayangi kamu Adira, aku tidak mau kamu merana karena laki-laki
lain.” Joni meraih bahuku, matanya menatapku lekat-lekat.
Aku tahu dia
menyayangiku. Aku tahu sejak dia mulai sering memberiku perhatian. Tapi sudah
kubilang, kehadiran Joni tidak membuatku lantas melupakan Denta. Sudah
kubilang, Denta adalah segala-galanya.
“Adira, aku ada di sini
untuk kamu.”
Aku menghembuskan nafas
berat, kemudian dengan sigap menepis tangan Joni yang sedari tadi meraih
bahuku, “Dengar Jon, kalaupun aku menyayangi kamu, rasa sayangku ke kamu cuma
seujung kuku kalo dibandingkan dengan rasa sayang aku ke Denta. Aku menyayangi
Denta lebih dari siapa pun. Dan berapa kali pun kamu bicara buruk soal Denta,
itu nggak akan merubah rasa sayang aku ke dia.” Aku menatap mata Joni sekali
lagi dan di detik berikutnya, aku telah berlalu meninggalkan lelaki itu di
ruang kerjaku.
Ruang kerja yang
kemudian tidak pernah aku kunjungi lagi sebab beberapa hari setelahnya aku
memilih untuk berhenti bekerja hanya karena ungkapan cinta Joni yang aku yakin
secara langsung maupun tidak langsung pasti menggangguku.
***
Sebuah hubungan
pertemanan jika sudah dicampuri masalah percintaan, maka pertemanan itu tidak
akan pernah sama lagi. Pepatah klise itu saat ini sangat aku percayai mengingat
hubunganku dengan Joni yang tidak pernah dekat lagi semenjak dia mengungkapkan
cintanya padaku.
Aku sudah tak bekerja
di penerbit itu lagi. Itu menyebalkan karena aku harus kehilangan penghasilan
dari pekerjaan yang sebenarnya paling menyenangkan. Tapi ya sudahlah. Saat ini,
aku bekerja sebagai penulis serabutan yang selalu rajin mengirim karya ke
redaksi-redaksi majalah, berharap mereka mau suka rela memuat karyaku dan
memberiku honor yang membuatku tetap bisa melagsungkan hidup. Ayolah, anak-anak
lain seumuranku sudah tidak minta uang pada orang tua lagi.
Sore ini, aku tengah duduk
di dekat jendela kamarku yang terletak di lantai dua. Senja begitu mempesona,
membuatku tertarik untuk menuliskan sebuah puisi. Tiba-tiba, layar ponselku
berkedip.
Temui
aku di stasiun, saat matahari siap tenggelam di ufuk barat.
Begitu
bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Tapi sialnya, meski pun aku tidak
tahu siapa yang iseng mengirimku pesan seperti itu, aku tetap memutuskan untuk
bangkit, segera meraih sweater dan
tas lalu segera berlari menuju stasiun yang hanya beberapa puluh meter dari rumahku.
***
Stasiun tampak
melankolis di kala senja. Peron-peron di depan sana tampak oranye ditimpa sinar
mentari yang siap tenggelam di kaki langit. Aku melirik ke arah jam besar di
ruang tunggu. Pukul 17.35, kereta apa yang datang saat mentari siap tenggelam?
Belum sempat aku
menemukan jawaban dari pertanyaanku, terdengar bunyi kereta dari kejauhan.
Petugas stasiun terdengar menyebutkan nama kereta yang hendak berhenti. Aku
terbelalak.
Beberapa saat kemudian,
sosok itu tampak berjalan mendekat. Ya Tuhan, itu Denta. Dia tampak menawan
dalam balutan jaket hitam.
“Adira, apa kabar?”
suaranya terdengar berat dan berwibawa. Melihat senyumnya, rinduku seakan
memuncak.
“Saat kau pergi, tidak
ada satu pun hari yang aku lalui tanpa merindukan kamu, Denta.” Air mataku
meluruh, menjadi bukti betapa rinduku telah di ujung.
Denta tersenyum, dia
tahu aku merindukannya.
“Adira….”
“Ada apa Denta?”
“Kau bilang, Stasiun
itu selalu tentang perpisahan. Kau tidak sepenuhnya benar sayang. Karena selain
menjadi saksi perpisahan, stasiun juga menjadi saksi dari setiap
pertemuan-pertemuan. Seperti sore ini,” ujarnya sambil tersenyum.
“Jangan pernah
memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang, Adira.”
Aku mengangguk.
Saat ini aku tahu,
tidak semua hal yang kita pikir buruk adalah benar-benar buruk untuk kita.
Denta sekali lagi
membuktikan, bahwa dia adalah laki-laki yang pantas untuk aku cintai.
***
Brebes, 23 Desember 2016
#Ikan_Mas
[Cerpen #Ikan_Mas - Di Dekat Kusen Kelabu]
By : Zahara Nisa F
Salah satu koleksi karya dalam folder bulan Juni yang belum sempat dipublish sebelumnya, selamat membaca! :D
***
Di Dekat Kusen Kelabu
Oleh: Zahara Nisa Fadila
***
“Kita cuma lagi kena syndrom merah
jambu, Atma. Aku yakin kok seiring berjalannya waktu, syndrom ini bakal ngilang
dengan sendirinya. Yang perlu kita lakuin cuma ngebiarin semuanya mengalir,
kayak minuman rasa-rasa yang kita taruh di botol. Ketika kita biarin botolnya
condong ke bawah, perlahan namun pasti air dalam botol itu akan mengalir ke
luar, dan meski sedikit butuh waktu, botol itu pasti akan kosong melompong
dengan sendirinya. Botol itu akan kosong seperti semula, seperti sebelum diisi
air rasa-rasa itu.” –Fredella
***
“Atma,
jadi les nggak, sih!” Fredella menghampiri Atma dengan raut muka agak memerah.
Bagaimana tidak? laki-laki itu berlatih terlalu lama sehingga Fredella yang
sedari tadi menunggunya dibuat kesal. Saking kesalnya, Fredella bahkan sempat
berdoa agar senar raket Atma putus, dengan begitu Atma akan segera menyudahi
latihannya. Lantas, bergegas pergi menuju tempat les bersama Fredella.
“Ya
jadi lah, lo tunggu dulu bentar. Gue main satu set lagi. Ayolah Fre, bulan
depan kan gue ada turnamen.”
Fredella
mendengus berat, jika bukan karena hubungan persahabatan mereka, mungkin dia
akan lebih memilih kabur dan tidak lagi peduli pada Atma. Namun, separuh
hatinya membujuk agar dia sedikit lebih sabar. Atma sedang butuh banyak latihan.
Dengan begitu, tidak ada yang bisa dilakukan dirinya selain menunggui Atma.
Bukankah sahabat yang baik adalah sahabat yang rela berkorban? Mungkin kiranya
begitu.
“Oke
gue tunggu lo di ruang klub sastra ya. Di sini panas banget. Nanti kalo udah
selesai lo langsung aja ke ruang sastra. See
you, Atma!”
“Yo,
see you, Fre!”
Dengan
langkah gontai, Fredella berjalan menjauhi lapangan bulutangkis. Dua botol
minuman rasa-rasa di tangannya bahkan sama sekali tidak ia utak-atik. Meski
kerongkongannya amat kering, ia mengurungkan niat untuk minum. Biarlah, dia
akan minum ketika Atma selesai latihan. Sehingga, minuman itu akan terasa lebih
nikmat lantaran ia menghabiskannya dengan Atma.
Ruang
klub sastra tampak lebih lengang dari biasanya saat Fredella tiba. Gordennya
bahkan nyaris tertutup secara keseluruhan, namun ketika ia meraih kenop pintu,
ruangan itu rupanya sama sekali belum terkunci. Berjalanlah wanita itu
perlahan-lahan menuju salah satu kursi di dekat kusen kelabu. Dan ketika ia
baru saja merebahkan tubuhnya di sana, aroma buku-buku tua seketika menguar.
Membuat dirinya tersenyum penuh arti.
Sastra
adalah dunia Fredella. Dunia yang digandrunginya selama empat tahun terakhir.
Dan demi apa pun, dunia itu adalah satu-satunya alasan mengapa hingga detik ini
ia masih bertahan waras.
Atma
selalu bilang bahwa Fredella dan sastra sudah selayaknya saudara kandung,
kakak-beradik. Dan setiap kali Atma bialng begitu, Fredella dibuatnya tertawa
terbahak-bahak.
Ngomong-ngomong
soal Fredella dan Atma, mereka adalah sepasang sahabat yang mereka sendiri
bahkan tidak tahu sejak kapan dan karena apa mereka bersahabat. Begitulah
kehidupan, kadangkala kita sendiri justru tidak tahu alasan atas hal-hal yang
kita lakukan. Segalanya mengalir begitu saja dalam skala yang tidak pernah bisa
diprediksikan.
Memikirkan
soal Atma, Fredella merasa sedikit kaku. Pikirannya mengembara entah kemana,
mencoba menyangkutpautkan Atma dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang
dirangkainya sendiri. Di dalam hati kecilnya, ia sejujurnya takut kehilangan
Atma. Bukankah kadangkala orang yang kita sayang justru menjauh dengan
sendirinya secara tiba-tiba? Fredella berpikir… bagaimana kalo Atma menghilang
begitu saja sementara dirinya belum siap melepas? Belum siap kehilangan?
Terlebih Atma adalah seleb sekolah, tidak menutup kemungkinan jika suatu hari
nanti Atma akan jatuh cinta pada seseorang yang juga mencintainya. Dan dengan
begitu, Atma akan melupakan Fredella sebagai sesosok sahabat dan justru lebih
fokus pada apa yang dia namai cinta. Diakui atau tidak, cinta kadangkala bisa
lebih penting dari sekadar persahabatan.
“Fre….”
ujar Atma yang secara otomatis membuyarkan lamunan Fredella. Fredella
gelagapan, namun berkat kepiawaiannya beradaptasi, dalam hitungan detik
Fredella sudah kembali normal. Ia tersenyum menyambut Atma yang nampak kuyup
dibasahi keringat.
“Lo
kalo latihan lama banget sih, At.”
“Ya
sorry, habisnya pelatih agak rese sih. Lo udah nunggu lama?” Atma segera
memilih posisi duduk di kursi dekat Fredella. Dan tanpa cuap-cuap, Atma segera
menghabiskan minuman yang dibelinya tadi, sesaat sebelum datang ke ruang klub
sastra.
“Yah,
At, gue kan udah bilang lo ga usah beli minum. Udah gue bawain nih?” dengan
raut sedikit kesal, Fredella mengacungkan dua botol minuman rasa-rasa yang
sedari tadi mati-matian dijaganya untuk Atma. Atma terbahak.
“Sorry….”
“Lo
kebanyakan bilang sorry.”
“Okedeh,
gue gak bilang sorry lagi.”
Kali
ini, Fredella yang terbahak menyaksikan raut wajah Atma.
Beginilah
saat-saat yang paling Fredella nantikan, saat-saat dirinya bisa tertawa lepas
bersama Atma. Saat-saat dirinya merasa bahwa dunia teramat sempit, dunia hanya
sebatas tawa kecil Atma. Dan dengan gilanya, diam-diam Fredella menaruh harapan
kecil tentang Atma. Harapan kecil yang lagi-lagi tidak pernah disadarinya kapan
dan karena apa bisa muncul.
“At,
lo pernah ngerasa nggak?” Fredella berkata dengan suara parau yang nyaris tidak
terdengar.
“Ngerasa
apa?”
“Suatu
hari nanti kita akan berjalan di jalan kita masing-masing.”
Atma
mencondongkan badannya, “Kenapa kita harus berjalan di jalan masing-masing,
kenapa kita nggak mencoba untuk berjalan di jalan yang sama?”
Fredella
tersenyum, “Lo suatu hari nanti bakal nemuin cewek yang cocok di hati lo, dan
fakta itu bakal ngebuat persahabatan kita ngekikis dengan sendirinya. Tapi, gue
belum siap kehilangan lo sebagai sosok sahabat.” ujar Fredella seraya terus
menunduk. Diam-diam matanya mulai memanas, ingin rasanya ia menangis.
Berteriak.
“Fre,
lo ngomong apa sih? Gue kali yang lebih takut kehilangan lo. Karena, lo bukan
cuma sekedar sahabat, lebih daripada itu gue udah anggap lo sebagai sesuatu
yang penting. Tanpa lo tahu.”
Fredella
sedikit mendongak sehingga kristal-kristal bening di sekitar pelupuknya dapat
dengan mudah dilihat Atma.
“Fre,
jangan nangis. Gue emang udah nemu cewek yang pas di hati gue kok, tapi cewe
itu bukan orang lain. Cewe itu lo.” Atma tersenyum. Membuat Fredella seketika
ingin lenyap dimakan waktu. Apa yang dimaksud Atma tadi? Cewek itu adalah
dirinya? Apa maksud dia?
“At….”
“Cewek
itu lo, Fre. Lo gak perlu khawatir. Persahabatan kita bakal terus berjalan,
karena gue nggak akan jatuh cinta kepada orang lain selain lo.”
Fredella
menunduk, diremasnya pelan-pelan rok abu-abu yang basah karena tetes air
matanya barusan. Atma membingungkan.
“Tapi
gue nggak mau jadi orang yang lo cintai, gue lebih mau jadi sahabat lo, Atma.”
“Nggak
ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang murni di dunia ini. Di
dalamnya pasti tersirat rasa, meski kita sekuat tenaga mencoba menyangkalnya.”
Atma kembali meluruskan tubuhnya sehingga kini, ia tepat menghadap ke arah rak
buku.
Sementara
Fredella masih terus dipusingkan oleh hatinya sendiri. Ia mencintai Atma, tapi
ia tidak mau kehilangan Atma sebagai sesosok sahabat. Fredella tahu persis,
jatuh cinta pada sahabat sama saja dengan merusak persahabatan itu sendiri.
Bagaimana mungkin wanita itu bisa dengan mudahnya jatuh cinta sementara ia tahu
taruhan atas perasaan itu justru adalah persahabatan mereka? Persahabatannya
dengan Atma.
“Kita
cuma lagi kena syndrom merah jambu, Atma. Gue yakin kok seiring berjalannya
waktu, syndrom ini bakal ngilang dengan sendirinya. Yang perlu kita lakuin cuma
ngebiarin semuanya mengalir, kayak minuman rasa-rasa yang kita taruh di botol.
Ketika kita biarin botolnya condong ke bawah, perlahan namun pasti air dalam
botol itu akan mengalir ke luar, dan meski sedikit butuh waktu, botol itu pasti
akan kosong melompong dengan sendirinya. Botol itu akan kosong seperti semula,
seperti sebelum diisi air rasa-rasa itu.”
“Ya
kalo gitu gue gak bakal ngebuka botol itu Fre. Gue nggak akan ngebiarin isinya
berhamburan keluar.” Atma mengangkat bahu, lantas tersenyum –lagi.
“Ya
kalo gitu lo bakal ngadepin satu resiko; minumannya bakal kadaluarsa.”
Atma
tersenyum, entah untuk yang ke berapa kalinya. Fredella bahkan sudah menduga
kemungkinan laki-laki itu menjadi gila akibat terlalu terbawa suasana.
Bagaimana ini?
“Udah
deh, Fre. Kita berangkat les yuk, udah telat lima menit nih.” Atma beranjak
sambil mengaitkan ranselnya. Sementara Fredella masih menunduk, ia tidak cukup
kuat untuk bangkit dan berjalan di samping Atma setelah semua yang Atma katakan
barusan.
“At,
tapi kenapa harus gue? Gue kan nggak memenuhi kriteria lo. Gue kan nggak
sempurna….”
“Lo
nggak perlu jadi sempurna buat bikin gue jatuh cinta, Fre. Udah deh ayo, gak
usah terbawa suasana. Keburu kita telat lebih lama. Ntar lo tambah bego sama
matematika.”
Entah
bagaimana caranya, ucapan Atma barusan membuat Fredella harus menyunggingkan
senyum. Lihatlah, laki-laki itu teramat menyebalkan, saking menyebalkannya, dia
bahkan masih sempat membuat Fredella kesal di saat-saat yang seharusnya
dramatis.
Tapi
berkat itu, Fredella tahu satu hal; cinta emang sederhana. Kita gak perlu
sok-sokan dramatis buat memaknai cinta. Kadang saling mengerti saja sudah
cukup.
Dan
sialnya, yang membuat Fredella mengerti justu laki-laki paling tidak tidak peka
sedunia.
Mungkin
kiranya begitu.
“Oke,
gue gak terbawa suasana.” Fredella bangkit lantas mensejajarkan langkahnya
dengan Atma. Atma tertawa, sementara Fredella hanya tersenyum.
Cinta
itu sederhana.
***
Brebes, 12 Juni 2016
#Ikan_Mas
[Cerpen - Zaharanisaf] - Hujan di Musim Kemarau
By : Zahara Nisa F
Hujan
di Musim Kemarau
Oleh: Zahara
Nisa Fadila
***
Gerimis
kian menderas sesaat setelah kedatangan lelaki itu. Untuk beberapa waktu, aku
hanya termangu; tidak tahu harus berkata apa. Otakku sibuk menerka-nerka
tentang musabab kedatangannya, tentang bagaimana lelaki itu bisa sampai di
hadapanku.
Aku ingin menanyakan banyak perihal
pada Adrian, mengapa dia bisa tahu aku berada di tempat ini, berbasa-basi
apakah dia memiliki semacam alat pelacak, menyambut kedatangannya dengan senyum
sumringah, namun saat semua itu belum sempat kulakukan, lelaki itu telah lebih
dulu meraih pundakku. Ditepuknya dengan pelan kedua bahuku yang nyaris rapuh.
Sedetik kemudian, garis bibirnya berkedut, dia mengukir senyum. Senyum yang
dalam sekejap berhasil menohok batinku. Membuatku tertunduk hingga menangis.
Adrian
tahu. Tatapan matanya mengindikasikan bahwa dia sungguh telah tahu apa yang
terjadi. Dia tahu, mengapa aku melarikan diri ke tempat ini. Dan kedatangannya
ke sini, tidak lain tidak bukan adalah untuk menyusulku; memastikan apakah aku
baik-baik saja setelah semua yang terjadi.
Sahabat
adalah seseorang yang bisa mengerti perasaan kita, tahu semua hal tanpa kita
harus bercerita panjang lebar. Barangkali, laki-laki yang biasa kupanggil
Adrian ini adalah memang sahabatku.
Aku
terisak dihadapannya. Nyaris kehilangan pertahanan, beruntung Adrian
cepat-cepat menenangkanku, bilang bahwa dia ada di sampingku dan siap mendengar
apapun yang hendak kubicarakan.
“Aku
paling tidak bisa menyikapi orang yang sedang patah semangat, Ra. Maafkan aku
kalau tidak bisa membantu banyak selain menjadi pendengar dari setiap hal yang
ingin kaubicarakan.”
Aku
mengangguk patah-patah, mencoba mengiyakan tanpa harus keluar suara.
Adrian
berdiri dua hasta di dekatku. Tangannya yang tadi menepuk bahuku, kini sudah ia
masukkan kembali ke dalam saku hoodienya yang setengah basah. Kami berdiri
saling bersisian, menatap ke arah hamparan sawah yang membentang di bawah sana.
Lima
belas menit lalu aku melarikan diri ke tempat ini, berdiri di atap gedung sekolah
bagian belakang yang sisi kirinya menghadap ke arah sawah-sawah yang mulai
menguning. Atap ini cukup menjanjikan dalam hal memberi ketenangan,
pemandangannya memanjakan mata. Ketika sedang cerah, langit seringkali
menyuguhkan formasi yang mempesona. Dan diakui atau tidak, atap ini adalah
satu-satunya tempat di sekolah yang bisa kujadikan pelarian setelah semua
kesakitan yang kualami, hari ini.
Ini
adalah hari paling buruk dalam sejarah. Hari ketika aku harus kehilangan
mimpi-mimpiku. Hari ketika aku harus dengan berat hati melepas semua harapan
yang sudah mati-matian kubangun selama satu tahun terakhir. Hari ketika segala
pengorbananku sia-sia
Pernahkah
kamu memperjuangkan sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah bisa kamu dapatkan?
Jika pernah, maka kamu telah merasakan menjadi aku. Detik ini juga aku paham,
bahwa sebuah pengorbanan bisa saja menjadi sia-sia.
“Aku
tahu betul, Ra. Aku sangat mengerti perasaanmu ketika kau gagal menjadi
pemenang. Ketika semua pihak menjatuhkanmu, aku paham betul apa yang kau
rasakan.” Lelaki itu berbisik lirih, suaranya berpadu dengan rintik-rintik
gerimis.
“Kalau
aku menjadi kau, aku juga akan sama terpukulnya. Ini soal mimpi yang
mati-matian diperjuangkan namun tak menuai hasil, dan aku yakin, orang mana pun
akan mendadak hampir gila jika kehilangan mimpi-mimpinya,” lanjutnya. “Tapi
kamu tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan, lihatlah, langit bahkan turut
menangis karena melihatmu bersedih hati macam ini.”
Kutengadahkan
wajahku hingga aku bisa merasakan rintik hujan mulai membasuh wajahku. Ada
sensasi damai yang sulit dijelaskan, yang membuatku tiba-tiba menyunggingkan
senyum.
“Langit
selalu punya seremonial khusus untuk merayakan setiap kejadian-kejadian penting
dalam hidupku. Seperti hari ini, langit turut merayakan kesedihanku lewat rinai
hujan yang merebak.”
Adrian
menoleh, ditatapnya mataku dengan tatapan terbelalak, “A-aku setuju.”
“Penghiburan
terbaik kadangkala bisa kita dapatkan secara cuma-cuma dari alam semesta. Lewat
hal-hal sepele. Hujan, pelangi, angin…” lanjutnya.
Ada
bagian dari diriku yang ingin berhambur memeluknya. Setuju pada setiap apa yang
dikatakannya. Entah sejak kapan, Adrian mulai lihai berkata-kata. Kalimatnya
mengalir deras seperti hujan di musim kemarau, menghadirkan sejuk. Tapi, ah,
belum sempat memeluk, aku telah lebih dulu diracuni perasaan kikuk. Hingga
akhirnya nalarku membuat kesimpulan; memeluk lelaki di tengah hujan dengan
latar atap sekolah sepertinya bukan ide yang bagus. Pada akhirnya, aku
mengurungkan niatku dan tetap berdiri beberapa hasta di dekatnya. Menjaga
jarak. Mengatur kadar kewarasan.
Jika
dikalkulasi secara kira-kira, hujan yang turun di sore ini jelas bukan penanda
datangnya musim penghujan. Ini bulan September, bulan-bulan yang semestinya
gersang. Bulan-bulan kering. Itulah mengapa aku cukup puas dengan kedatangannya
sore ini yang diluar perkiraan, yang selain menebarkan sejuk kepada bumi, juga
berhasil menebar sejuk di bilik perasaanku. Hujan musim kemarau, hujan yang
dinanti-nanti.
“Ra,”
Aku
berpaling menatapnya. Dari samping, dapat kulihat dengan jelas potret tubuhnya
yang maskulin. Rambutnya sempurna basah karena gerimis di atas kami telah
bertranformasi menjadi hujan, kacamatanya mengembun, wajahnya pucat karena
menggigil. Namun, dia tetap tersenyum seolah-olah tidak ada apa-apa. Senyumnya
terlampau jujur, terlampau apa adanya.
“Mau
mendengar sesuatu dariku?”
“Sesuatu?”
Aku mengangkat bahu, memasang ekspresi penasaran.
“Yup,
sesuatu yang kuharap bisa memperbaik suasana hatimu.”
“Apa?”
“Aku
akan menjatuhkanmu sejatuh-jatuhnya sehingga tidak ada yang bisa menjatuhkanmu
lagi.”
Sejenak,
aku sempat berpikir perihal makna kalimat itu. Namun, tanpa benar-benar
menemukan jawaban, pipiku terlanjur merona.
Kuberi
ia sebuah senyuman yang kemudian dibalasnya dengan senyum yang sama. Kami
saling mengikat pandangan, berbagi rasa lewat tatapan mata.
“Melindungiku
dengan cara menyakiti ya, itu kejam,” cibirku sembari menyeringai.
Dia
tertawa, “Asal bukan orang lain yang melakukannya.”
Aku
menggigit bibir, meredam rasa yang kian bergejolak. Dia masih beberapa hasta di
dekatku. Aku juga masih sebisa mungkin mengontrol kewarasan agar tetap kekeuh
pada jarak ini. Tidak mengambil langkah dengan gegabah.
Seperti
halnya hujan di musim kemarau, Adrian selalu tahu kapan harus datang. Dia selalu
tahu kapan sedang dibutuhkan.
Aku
mencengkeram ujung seragamku, bibirku berbisik lirih, “Terimakasih, Adrian.”
Tidak
ada jawaban, yang kudengar hanya suara angin menelisik dan suara hujan yang
makin deras.
Tapi
dari sudut matanya, aku tahu; dia membalas ucapan terimakasihku.
Untuk
beberapa saat, kami kembali saling diam. Menatap langit. Menatap hamparan
sawah.
Terkadang,
ada sesuatu hal yang sulit dijelaskan. Seperti misalnya, perasaan nyaman yang
tiba-tiba saja menjalari sukmaku setap kali ada di samping Adrian.
Sementara
ini, biarlah hanya Tuhan, langit mendung, dan hamparan sawah yang tahu betapa
aku menaruh pengharapan yang besar pada lelaki itu.
***
Brebes, 7
September 2016
#Ikan_Mas