Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Sabtu, 24 Desember 2016



Ruang Tunggu Stasiun
Oleh: Zahara Nisa Fadila
“Aku tidak suka stasiun. Ia selalu identik dengan perpisahan, dengan kerinduan. Coba saja, sepanjang hari ini, telah berapa kali stasiun ini menjadi saksi perpisahan? Anak dengan ibunya, suami dengan istrinya, kakak dengan adiknya, kekasih dengan kekasihnya.” Aku duduk takzim seraya menyilangkan tangan di depan dada.
            Denta yang semula tengah asyik membaca koran tiba-tiba menghentikan aktivitasnya, lalu berganti menatapku, “Kamu sedang memikirkan apa, sih?”
Aku tertawa, tapi kemudian di detik berikutnya, tawaku sirna. “Aku sedang membayangkan, mungkin stasiun ini juga kelak akan menjadi saksi perpisahan kita.”
“Adira, aku ngajak kamu ke sini itu untuk refreshing, untuk bersenang-senang, kamu kok malah jadi mikirin yang begitu-begitu,”
“Iya tapi tetep aja, Ta….”
Saat ini, aku dan Denta tengah duduk di ruang tunggu stasiun. Meskipun sebenarnya, tidak ada siapa-siapa yang sedang kami tunggu. Kami memang suka begitu, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk alasan-alasan yang tidak masuk akal. Seperti saat ini misalnya.
“Ya sudahlah tidak usah dipikirkan lagi. Kamu laper? Yuk cari makan!”
Denta berhasil mengalihkan pembicaraan karena aku yang memilih untuk mengalah dan tidak ambil pusing lagi soal perpisahan kita yang mungkin akan terjadi tidak lama lagi.
Beberapa saat kemudian, aku bangkit dan mengikuti langkah Denta yang mengarah ke gerobak ketoprak.
***
Dan begitu lah waktu berlalu, amat cepat. Tahu-tahu saja, aku dan Denta telah terpisah ratusan kilometer.
Dia mengejar mimpinya, begitu pun aku. Ayolah, impian Denta tidak melulu soal aku. Juga sebaliknya, impianku tidak melulu soal Denta. Sebelum kami benar-benar memutuskan untuk bersama, ada yang harus kami urus terlebih dahulu.
Denta jarang sekali memberi kabar. Barangkali, dia memang sedang sangat sibuk. Aku juga tidak berani memulai percakapan lewat jejaring sosial. Biarlah Denta fokus dulu dengan mimpi-mimpinya, pikirku. Tapi, meskipun intensitas percakapan kita sedikit sekali, perasaanku terhadapnya selalu sama.
Hari-hari tanpa Denta adalah hari-hari yang panjang. Aku selalu tiba-tiba saja didera rindu, bahkan di tengah-tengah waktu sibukku. Merindukan Denta adalah hal paling membosankan yang herannya tidak pernah bosan aku lakukan.
Saat ini, aku bekerja sebagai seorang editor di salah satu penerbit di jantung kota. Setiap pagi, aku akan menyusuri trotoar dari rumah ke kantor dengan perasaan riang sebab aku selalu merasa bahwa pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar.
Tapi sesampainya di kantor, aku bisa mendadak merindukan Denta. Aku seperti mampu menemukan Denta di manapun. Termasuk di sela-sela aksara ketika aku sedang bekerja sebagai editor. Denta selalu pandai membuatku kembali merindukannya.
Seperti siang ini, saat aku tiba-tiba saja resah hanya karena Joni mengantarkanku secangkir cappucino. Cappucino adalah minuman kesukaan Denta dan demi apa pun, ini membuatku tiba-tiba saja memikirkannya.
“Ayo dong, diminum,” ujar Joni saat melihatku yang hanya termangu menatapi secangkir cappucino buatannya.
“Kamu panas-panas gini kasih cappucino mendidih. Itu gila sekali, Joni!”
Joni tertawa, “Seleramu kan biasanya beda, Adira.”
Aku mencibir. Ah, Joni selalu seperti itu.
Ngomong-ngomong, Joni adalah pria terdekatku di kantor. Orang-orang sering menggosipkan kami. Tapi meskipun begitu, kehadiran dia tidak pernah bisa menggantikan Denta yang sepertinya telah mendarah daging dalam ingatanku.
“Ada apa lagi Adira? Kangen Denta?” Joni akhirnya mendengus sebal setelah bosan menyaksikanku yang cuma bisa diam.
“Kamu kenapa sih? Denta lagi Denta lagi. Nggak ada lagi yang lebih penting dari dia apa?” ketus Joni.
Aku diam. Benar Joni, tidak ada yang lebih penting dari Denta.
“Adira….”
Aku mendongak, menyaksikan raut wajah Joni yang sepertinya kelelahan karena lembur.
“Berhenti merindukan seseorang yang belum tentu balas merindukanmu. Denta itu laki-laki, dia bisa mengkhianati kamu kapan pun. Barangkali saja dia tidak pernah memberi kabar kepadamu karena dia sudah menemukan yang lain di—“
“Denta bukan laki-laki yang seperti itu! Kamu kenapa sih selalu berpikiran buruk soal Denta?” Aku bangkit dan tiba-tiba saja menyadari bahwa nada suaraku meninggi.
“Kamu tanya kenapa? Karena aku menyayangi kamu Adira, aku tidak mau kamu merana karena laki-laki lain.” Joni meraih bahuku, matanya menatapku lekat-lekat.
Aku tahu dia menyayangiku. Aku tahu sejak dia mulai sering memberiku perhatian. Tapi sudah kubilang, kehadiran Joni tidak membuatku lantas melupakan Denta. Sudah kubilang, Denta adalah segala-galanya.
“Adira, aku ada di sini untuk kamu.”
Aku menghembuskan nafas berat, kemudian dengan sigap menepis tangan Joni yang sedari tadi meraih bahuku, “Dengar Jon, kalaupun aku menyayangi kamu, rasa sayangku ke kamu cuma seujung kuku kalo dibandingkan dengan rasa sayang aku ke Denta. Aku menyayangi Denta lebih dari siapa pun. Dan berapa kali pun kamu bicara buruk soal Denta, itu nggak akan merubah rasa sayang aku ke dia.” Aku menatap mata Joni sekali lagi dan di detik berikutnya, aku telah berlalu meninggalkan lelaki itu di ruang kerjaku.
Ruang kerja yang kemudian tidak pernah aku kunjungi lagi sebab beberapa hari setelahnya aku memilih untuk berhenti bekerja hanya karena ungkapan cinta Joni yang aku yakin secara langsung maupun tidak langsung pasti menggangguku.
***
Sebuah hubungan pertemanan jika sudah dicampuri masalah percintaan, maka pertemanan itu tidak akan pernah sama lagi. Pepatah klise itu saat ini sangat aku percayai mengingat hubunganku dengan Joni yang tidak pernah dekat lagi semenjak dia mengungkapkan cintanya padaku.
Aku sudah tak bekerja di penerbit itu lagi. Itu menyebalkan karena aku harus kehilangan penghasilan dari pekerjaan yang sebenarnya paling menyenangkan. Tapi ya sudahlah. Saat ini, aku bekerja sebagai penulis serabutan yang selalu rajin mengirim karya ke redaksi-redaksi majalah, berharap mereka mau suka rela memuat karyaku dan memberiku honor yang membuatku tetap bisa melagsungkan hidup. Ayolah, anak-anak lain seumuranku sudah tidak minta uang pada orang tua lagi.
Sore ini, aku tengah duduk di dekat jendela kamarku yang terletak di lantai dua. Senja begitu mempesona, membuatku tertarik untuk menuliskan sebuah puisi. Tiba-tiba, layar ponselku berkedip.
Temui aku di stasiun, saat matahari siap tenggelam di ufuk barat.
            Begitu bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Tapi sialnya, meski pun aku tidak tahu siapa yang iseng mengirimku pesan seperti itu, aku tetap memutuskan untuk bangkit, segera meraih sweater dan tas lalu segera berlari menuju stasiun yang hanya beberapa puluh meter dari rumahku.
            ***
Stasiun tampak melankolis di kala senja. Peron-peron di depan sana tampak oranye ditimpa sinar mentari yang siap tenggelam di kaki langit. Aku melirik ke arah jam besar di ruang tunggu. Pukul 17.35, kereta apa yang datang saat mentari siap tenggelam?
Belum sempat aku menemukan jawaban dari pertanyaanku, terdengar bunyi kereta dari kejauhan. Petugas stasiun terdengar menyebutkan nama kereta yang hendak berhenti. Aku terbelalak.
Beberapa saat kemudian, sosok itu tampak berjalan mendekat. Ya Tuhan, itu Denta. Dia tampak menawan dalam balutan jaket hitam.
“Adira, apa kabar?” suaranya terdengar berat dan berwibawa. Melihat senyumnya, rinduku seakan memuncak.
“Saat kau pergi, tidak ada satu pun hari yang aku lalui tanpa merindukan kamu, Denta.” Air mataku meluruh, menjadi bukti betapa rinduku telah di ujung.
Denta tersenyum, dia tahu aku merindukannya.
“Adira….”
“Ada apa Denta?”
“Kau bilang, Stasiun itu selalu tentang perpisahan. Kau tidak sepenuhnya benar sayang. Karena selain menjadi saksi perpisahan, stasiun juga menjadi saksi dari setiap pertemuan-pertemuan. Seperti sore ini,” ujarnya sambil tersenyum.
“Jangan pernah memandang sesuatu hanya dari satu sudut pandang, Adira.”
Aku mengangguk.
Saat ini aku tahu, tidak semua hal yang kita pikir buruk adalah benar-benar buruk untuk kita.
Denta sekali lagi membuktikan, bahwa dia adalah laki-laki yang pantas untuk aku cintai.
***
Brebes, 23 Desember 2016
#Ikan_Mas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -