Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Selasa, 18 Oktober 2016



Salah satu koleksi karya dalam folder bulan Juni yang belum sempat dipublish sebelumnya, selamat membaca! :D
***
Di Dekat Kusen Kelabu
Oleh: Zahara Nisa Fadila
***
“Kita cuma lagi kena syndrom merah jambu, Atma. Aku yakin kok seiring berjalannya waktu, syndrom ini bakal ngilang dengan sendirinya. Yang perlu kita lakuin cuma ngebiarin semuanya mengalir, kayak minuman rasa-rasa yang kita taruh di botol. Ketika kita biarin botolnya condong ke bawah, perlahan namun pasti air dalam botol itu akan mengalir ke luar, dan meski sedikit butuh waktu, botol itu pasti akan kosong melompong dengan sendirinya. Botol itu akan kosong seperti semula, seperti sebelum diisi air rasa-rasa itu.” –Fredella
***
            “Atma, jadi les nggak, sih!” Fredella menghampiri Atma dengan raut muka agak memerah. Bagaimana tidak? laki-laki itu berlatih terlalu lama sehingga Fredella yang sedari tadi menunggunya dibuat kesal. Saking kesalnya, Fredella bahkan sempat berdoa agar senar raket Atma putus, dengan begitu Atma akan segera menyudahi latihannya. Lantas, bergegas pergi menuju tempat les bersama Fredella.
“Ya jadi lah, lo tunggu dulu bentar. Gue main satu set lagi. Ayolah Fre, bulan depan kan gue ada turnamen.”
Fredella mendengus berat, jika bukan karena hubungan persahabatan mereka, mungkin dia akan lebih memilih kabur dan tidak lagi peduli pada Atma. Namun, separuh hatinya membujuk agar dia sedikit lebih sabar. Atma sedang butuh banyak latihan. Dengan begitu, tidak ada yang bisa dilakukan dirinya selain menunggui Atma. Bukankah sahabat yang baik adalah sahabat yang rela berkorban? Mungkin kiranya begitu.
“Oke gue tunggu lo di ruang klub sastra ya. Di sini panas banget. Nanti kalo udah selesai lo langsung aja ke ruang sastra. See you, Atma!”
“Yo, see you, Fre!”
Dengan langkah gontai, Fredella berjalan menjauhi lapangan bulutangkis. Dua botol minuman rasa-rasa di tangannya bahkan sama sekali tidak ia utak-atik. Meski kerongkongannya amat kering, ia mengurungkan niat untuk minum. Biarlah, dia akan minum ketika Atma selesai latihan. Sehingga, minuman itu akan terasa lebih nikmat lantaran ia menghabiskannya dengan Atma.
Ruang klub sastra tampak lebih lengang dari biasanya saat Fredella tiba. Gordennya bahkan nyaris tertutup secara keseluruhan, namun ketika ia meraih kenop pintu, ruangan itu rupanya sama sekali belum terkunci. Berjalanlah wanita itu perlahan-lahan menuju salah satu kursi di dekat kusen kelabu. Dan ketika ia baru saja merebahkan tubuhnya di sana, aroma buku-buku tua seketika menguar. Membuat dirinya tersenyum penuh arti.
Sastra adalah dunia Fredella. Dunia yang digandrunginya selama empat tahun terakhir. Dan demi apa pun, dunia itu adalah satu-satunya alasan mengapa hingga detik ini ia masih bertahan waras.
Atma selalu bilang bahwa Fredella dan sastra sudah selayaknya saudara kandung, kakak-beradik. Dan setiap kali Atma bialng begitu, Fredella dibuatnya tertawa terbahak-bahak.
Ngomong-ngomong soal Fredella dan Atma, mereka adalah sepasang sahabat yang mereka sendiri bahkan tidak tahu sejak kapan dan karena apa mereka bersahabat. Begitulah kehidupan, kadangkala kita sendiri justru tidak tahu alasan atas hal-hal yang kita lakukan. Segalanya mengalir begitu saja dalam skala yang tidak pernah bisa diprediksikan.
Memikirkan soal Atma, Fredella merasa sedikit kaku. Pikirannya mengembara entah kemana, mencoba menyangkutpautkan Atma dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang dirangkainya sendiri. Di dalam hati kecilnya, ia sejujurnya takut kehilangan Atma. Bukankah kadangkala orang yang kita sayang justru menjauh dengan sendirinya secara tiba-tiba? Fredella berpikir… bagaimana kalo Atma menghilang begitu saja sementara dirinya belum siap melepas? Belum siap kehilangan? Terlebih Atma adalah seleb sekolah, tidak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Atma akan jatuh cinta pada seseorang yang juga mencintainya. Dan dengan begitu, Atma akan melupakan Fredella sebagai sesosok sahabat dan justru lebih fokus pada apa yang dia namai cinta. Diakui atau tidak, cinta kadangkala bisa lebih penting dari sekadar persahabatan.
“Fre….” ujar Atma yang secara otomatis membuyarkan lamunan Fredella. Fredella gelagapan, namun berkat kepiawaiannya beradaptasi, dalam hitungan detik Fredella sudah kembali normal. Ia tersenyum menyambut Atma yang nampak kuyup dibasahi keringat.
“Lo kalo latihan lama banget sih, At.”
“Ya sorry, habisnya pelatih agak rese sih. Lo udah nunggu lama?” Atma segera memilih posisi duduk di kursi dekat Fredella. Dan tanpa cuap-cuap, Atma segera menghabiskan minuman yang dibelinya tadi, sesaat sebelum datang ke ruang klub sastra.
“Yah, At, gue kan udah bilang lo ga usah beli minum. Udah gue bawain nih?” dengan raut sedikit kesal, Fredella mengacungkan dua botol minuman rasa-rasa yang sedari tadi mati-matian dijaganya untuk Atma. Atma terbahak.
“Sorry….”
“Lo kebanyakan bilang sorry.”
“Okedeh, gue gak bilang sorry lagi.”
Kali ini, Fredella yang terbahak menyaksikan raut wajah Atma.
Beginilah saat-saat yang paling Fredella nantikan, saat-saat dirinya bisa tertawa lepas bersama Atma. Saat-saat dirinya merasa bahwa dunia teramat sempit, dunia hanya sebatas tawa kecil Atma. Dan dengan gilanya, diam-diam Fredella menaruh harapan kecil tentang Atma. Harapan kecil yang lagi-lagi tidak pernah disadarinya kapan dan karena apa bisa muncul.
“At, lo pernah ngerasa nggak?” Fredella berkata dengan suara parau yang nyaris tidak terdengar.
“Ngerasa apa?”
“Suatu hari nanti kita akan berjalan di jalan kita masing-masing.”
Atma mencondongkan badannya, “Kenapa kita harus berjalan di jalan masing-masing, kenapa kita nggak mencoba untuk berjalan di jalan yang sama?”
Fredella tersenyum, “Lo suatu hari nanti bakal nemuin cewek yang cocok di hati lo, dan fakta itu bakal ngebuat persahabatan kita ngekikis dengan sendirinya. Tapi, gue belum siap kehilangan lo sebagai sosok sahabat.” ujar Fredella seraya terus menunduk. Diam-diam matanya mulai memanas, ingin rasanya ia menangis. Berteriak.
“Fre, lo ngomong apa sih? Gue kali yang lebih takut kehilangan lo. Karena, lo bukan cuma sekedar sahabat, lebih daripada itu gue udah anggap lo sebagai sesuatu yang penting. Tanpa lo tahu.”
Fredella sedikit mendongak sehingga kristal-kristal bening di sekitar pelupuknya dapat dengan mudah dilihat Atma.
“Fre, jangan nangis. Gue emang udah nemu cewek yang pas di hati gue kok, tapi cewe itu bukan orang lain. Cewe itu lo.” Atma tersenyum. Membuat Fredella seketika ingin lenyap dimakan waktu. Apa yang dimaksud Atma tadi? Cewek itu adalah dirinya? Apa maksud dia?
“At….”
“Cewek itu lo, Fre. Lo gak perlu khawatir. Persahabatan kita bakal terus berjalan, karena gue nggak akan jatuh cinta kepada orang lain selain lo.”
Fredella menunduk, diremasnya pelan-pelan rok abu-abu yang basah karena tetes air matanya barusan. Atma membingungkan.
“Tapi gue nggak mau jadi orang yang lo cintai, gue lebih mau jadi sahabat lo, Atma.”
“Nggak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang murni di dunia ini. Di dalamnya pasti tersirat rasa, meski kita sekuat tenaga mencoba menyangkalnya.” Atma kembali meluruskan tubuhnya sehingga kini, ia tepat menghadap ke arah rak buku.
Sementara Fredella masih terus dipusingkan oleh hatinya sendiri. Ia mencintai Atma, tapi ia tidak mau kehilangan Atma sebagai sesosok sahabat. Fredella tahu persis, jatuh cinta pada sahabat sama saja dengan merusak persahabatan itu sendiri. Bagaimana mungkin wanita itu bisa dengan mudahnya jatuh cinta sementara ia tahu taruhan atas perasaan itu justru adalah persahabatan mereka? Persahabatannya dengan Atma.
“Kita cuma lagi kena syndrom merah jambu, Atma. Gue yakin kok seiring berjalannya waktu, syndrom ini bakal ngilang dengan sendirinya. Yang perlu kita lakuin cuma ngebiarin semuanya mengalir, kayak minuman rasa-rasa yang kita taruh di botol. Ketika kita biarin botolnya condong ke bawah, perlahan namun pasti air dalam botol itu akan mengalir ke luar, dan meski sedikit butuh waktu, botol itu pasti akan kosong melompong dengan sendirinya. Botol itu akan kosong seperti semula, seperti sebelum diisi air rasa-rasa itu.”
“Ya kalo gitu gue gak bakal ngebuka botol itu Fre. Gue nggak akan ngebiarin isinya berhamburan keluar.” Atma mengangkat bahu, lantas tersenyum –lagi.
“Ya kalo gitu lo bakal ngadepin satu resiko; minumannya bakal kadaluarsa.”
Atma tersenyum, entah untuk yang ke berapa kalinya. Fredella bahkan sudah menduga kemungkinan laki-laki itu menjadi gila akibat terlalu terbawa suasana. Bagaimana ini?
“Udah deh, Fre. Kita berangkat les yuk, udah telat lima menit nih.” Atma beranjak sambil mengaitkan ranselnya. Sementara Fredella masih menunduk, ia tidak cukup kuat untuk bangkit dan berjalan di samping Atma setelah semua yang Atma katakan barusan.
“At, tapi kenapa harus gue? Gue kan nggak memenuhi kriteria lo. Gue kan nggak sempurna….”
“Lo nggak perlu jadi sempurna buat bikin gue jatuh cinta, Fre. Udah deh ayo, gak usah terbawa suasana. Keburu kita telat lebih lama. Ntar lo tambah bego sama matematika.”
Entah bagaimana caranya, ucapan Atma barusan membuat Fredella harus menyunggingkan senyum. Lihatlah, laki-laki itu teramat menyebalkan, saking menyebalkannya, dia bahkan masih sempat membuat Fredella kesal di saat-saat yang seharusnya dramatis.
Tapi berkat itu, Fredella tahu satu hal; cinta emang sederhana. Kita gak perlu sok-sokan dramatis buat memaknai cinta. Kadang saling mengerti saja sudah cukup.
Dan sialnya, yang membuat Fredella mengerti justu laki-laki paling tidak tidak peka sedunia.
Mungkin kiranya begitu.
“Oke, gue gak terbawa suasana.” Fredella bangkit lantas mensejajarkan langkahnya dengan Atma. Atma tertawa, sementara Fredella hanya tersenyum.
Cinta itu sederhana.
***
Brebes, 12 Juni 2016
#Ikan_Mas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -