- Back to Home »
- Sebuah Cerpen; Laki-laki yang Hatinya Masih Tertinggal di Masa Lalu
Posted by : Zahara Nisa F
Kamis, 23 Juni 2016
Title : Laki-laki yang Hatinya Masih
Tertinggal di Masa Lalu (Sekedar Percakapan)
Genre : Romance, Friendship
Author : Zahara Nisa Fadila
---
Happy reading,
readers!
---
“Bagaimana
mungkin aku hendak bertahan mencintai seseorang yang hatinya masih sibuk
berjibaku dengan masa lalu?” –Ra
---
“Ra, sudahlah, jangan terlalu dalam
memaknai sebuah kejadian,” Denissa entah bagaimana sudah berdiri di sampingku.
Aku patah-patah menoleh. Lantas, meski sedikit dipaska, aku mencoba menyulam
senyum termanisku. Yang aku yakin itu adalah salah satu jenis senyum palsu
terbaik sepanjang masa.
Aku
tidak tahu bagaimana gadis berrambut sebahu ini bisa menemuiku. Yang jelas,
terlepas dari betapa rahasianya tempat yang kupilih untuk bersembunyi, gadis
yang kini tengah berdiri di sampingku memang sepertinya memiliki semacam
kemampuan untuk mengetahui banyak hal tentangku. Pun untuk membaca
pertanda-pertanda atas segala hal yang tengah mati-matian kusembunyikan.
“Berhenti
menghindar, Ra. Dengan menghindar, kamu bukannya menjadi lebih baik, malah
sebaliknya, kamu akan semakin patah. Aku tahu itu.”
Aku
mengangguk. Denissa benar. Faktanya saat ini aku bukannya semakin membaik
justru aku semakin kacau.
“Semakin
jauh kamu menghindar, kamu akan semakin hancur, Ra.”
Aku
mengangguk (lagi). Denissa benar. Dia pandai sekali membuat argumen-argumen
yang benar.
“Oke,
jadi sekarang, bersediakah kamu menceritakan semuanya padaku?”
Aku
menarik nafas panjang, lantas menghembuskannya pelan-pelan seraya berharap
semoga air mataku tidak luruh untuk kali ini. Semoga, aku bisa menceritakkan
pada Denissa dengan perasaan yang lebih lega.
“Denissa,
seperti yang selalu kuceritakan padamu, aku ini mudah sekali jatuh cinta….sekaligus
mudah sekali patah hati.” begitulah aku memulai kalimat pertamaku. Denissa
tampaknya sudah mulai paham ke arah mana pembicaraan ini. Namun meski begitu, aku
mencoba tetap memperlambat laju kalimat-kalimatku, memastikan tidak ada
detail-detail yang terlewat.
Dan
begitulah aku mulai bercerita. Kupikir Denissa sudah mulai mengerti. Cerita ini
adalah cerita tentang aku, Akbar, dan sekeping masa lalu milik laki-laki itu.
Pernahkah
kamu merasakan jatuh cinta pada laki-laki yang membingungkan? Maksudku,
laki-laki itu terkadang menampakkan sekali dirinya menyukaimu, tapi dalam
beberapa waktu kamu justru merasa bahwa laki-laki itu sangat tidak terjamah. Artinya,
ada kekuatan lain yang menarik laki-laki itu sehingga tampak menjauh darimu.
Jika
kamu pernah merasakan hal-hal seperti demikian, mungkin kamu pernah menjadi
aku. Yup, tepat! Saat ini, aku tengah mengalami detail kejadian itu. Jatuh
cinta pada laki-laki yang hatinya entah tertinggal di mana.
“Hei,
memangnya apa yang Akbar katakan padamu, Ra?”
“Dia
tidak mengatakan apapun, akulah yang mengetahui dengan sendirinya.”
Angin
berhembus sepoi-sepoi. Menerbangkan ujung rambut Denissa yang dibiarkannya
tergerai.
“Denissa,
bukankah menyakitkan apabila seorang wanita tahu bahwa dirinya bukanlah satu-satunya
dalam kehidupan seseorang? Bahwa dirinya, bukanlah satu-satunya bunga yang
merekah dalam hati seseorang. Bahwa di samping dirinya, ada bunga lain yang
lebih elok, lebih harum, lebih menawan, dan bunga itu jauh lebih menarik.” Aku menyadari
betapa paraunya suaraku saat menganalogikan diriku menjadi sebuah bunga yang
kalah indah dengan bunga lain. Dan secara ajaib, aku jadi terisak sendiri.
“Siapa
‘Bunga Lain’ yang kau maksud, Ra?”
“Wanita
masa lalu Akbar. Kupikir Akbar belum bisa berdamai dengan masa lalunya.”
“Jadi,
itu alasanmu kabur dari kita semua? Menghilang dan bersembunyi di tempat
sekonyol ini? Kamu hanya sedang cemburu, Ra. Tidak usah berlaku bodoh.”
Aku
menunduk, membiarkan tetes pertama air mataku luruh menyapu tanah. Ini menyakitkan,
demi apapun ini menyakitkan!
“Bagaimana
mungkin aku tidak cemburu? Wanita itu sungguh jauh di atasku, membuatku sadar
bahwa aku bukanlah kriteria yang pas untuk Akbar. Bahwa wanita itu jauh lebih
pantas untuk Akbar dibanding diriku yang hanya remah.”
Denissa
menggerutu, “Tetapi bukan berarti kamu lantas jadi menyerah, dong? Biar bagaimana
pun, wanita itu tetap masa lalunya Akbar. Masa lalu tidak akan pernah kembali,
bukan?”
“Terkadang
masa lalu justru bisa menjelma menjadi masa depan, Denissa.”
Denissa
berdecak. Dipijat-pijatnya dengan pelan keningnya yang berkerut-kerut. Dia mungkin
tidak habis pikir pada aku yang mendadak menjadi semenyebalkan ini.
“Ra,
bertahan… Jangan menyerah hanya karena urusan sepele.”
“Bagaimana
mungkin aku hendak bertahan mencintai seseorang yang hatinya masih sibuk
berjibaku dengan masa lalu? Hati Akbar, masih tertinggal di masa lalu, Denissa.”
Aku
tidak tahu apa yang saat ini tengah dipikirkan Denissa. Mungkin, dia berpikir
betapa kekanak-kanakkannya aku. Betapa bodohnya diriku yang terlalu serius
menganggap sesuatu. Betapa konyolnya diriku yang mencoba menyerah hanya karena
urusan rasa cemburu. Tapi apapun itu, aku tidak peduli. Sekali cemburu, maka
aku akan terus dihantui perasaan menyakitkan macam itu.
“Ra,
biar kuberitahu kau satu hal. Jangan pernah berharap menjadi satu-satunya dalam
kehidupan seseorang, jangan pernah berharap menjadi satu-satunya bunga yang
merekah di dalam hati seseorang. Sebab, semua itu nyaris mustahil. Tapi berharaplah
agar di antara banyak bunga yang lebih indah, banyak bunga yang lebih elok,
kamu tetap menjadi bunga yang difavoritkan Akbar. Percayalah, terkadang sesuatu
yang difavoritkan tidak melulu harus sesuatu ‘yang paling indah’. Contohnya aku,
aku favorit sekali dengan kentang goreng, padahal banyak makanan yang lebih
mewah daripada itu kan?” Denissa mengusap bahuku secara seirama.
“Tapi
Denissa, adakah kemungkinan bahwa aku bisa menjadi bunga favoritnya?”
“Selalu
ada.”
Ada
yang berdesir di hatiku. Entah bagaimana, harapan-harapan yang kemarin layu,
secara perlahan, harapan-harapan itu kembali bernyawa. Ada kekuatan kecil yang
mendorongku agar kembali menumbuhkan harapan.
“Lagian,
Ra. Hakikat mencintai seseorang adalah ketika kita tahu banyak sekali alasan
untuk pergi, tetapi kita memilih untuk tetap tinggal, tetap memutuskan untuk
bertahan. Ini bukan masalah kekuatan cinta yang telah membutakan mata kita,
tetapi memang begitulah, terkadang tingkatan jatuh cinta paling tulus adalah
jatuh cinta yang tidak pernah pamrih mengharapkan apapun lagi. Kita hanya jatuh
cinta, terlepas dari dia yang hendak membalas perasaan itu atau tidak, itu
bukan suatu masalah. Kita hanya jatuh cinta, begitu saja, titik.”
Aku
tidak tahu dari mana Denissa mendapat kalimat-kalimat itu. yang jelas, mungkin
dirinya benar.
Aku
menatap ke arah ombak yang berkejaran. Lantas secara ajaib, aku jadi tersenyum.
Dan senyum ini sungguh bukan senyum palsu. Ini senyum yang tulus.
“Denissa,
terimakasih sudah menemukanku di sini dan mengatakan itu semua.” Aku tersenyum
lagi. Hingga aku menjadi sedikit curiga, jangan-jangan aku sedang terkena
syndrom ‘terus menerus tersenyum tanpa alasan’.
Ah
tapi tidak, senyumku ini, sungguh beralasan.
Aku
mungkin akan berdarah-darah setiap kali menyaksikan Akbar dijerat masa lalunya,
aku mungkin akan cemburu setiap kali Akbar tertarik pada bunga lain yang lebih
menawan. Tapi, aku berjanji akan membuktikan, bahwa cintaku memang tulus! Tidak
peduli berapa banyak alasan yang mendesakku untuk pergi, aku akan tetap
tinggal. Tidak peduli berapa kali aku harus tersakiti, membereskan kembali
puing-puing yang berantakkan selepas dihancurkan, aku akan tetap mencoba untuk
terus berdiri.
Hingga
nanti, ketika perasaan itu harus memudar dengan sendirinya. Dipudarkan oleh
waktu.
Namun,
sebelum waktu benar-benar memudarkannya, bisakah aku terus bertahan?
Aku
tersenyum, lagi-lagi bukan senyum palsu.
Cinta
yang tulus, tidak pernah pamrih mengharapkan balasan.
---
Brebes, 24 Juni
2016
Mendekati
penghujung bulan Juni.
#Ikan_Mas
Ditunggu update.an selajutnya zah
BalasHapusSecepetnya di update lagi yaa