- Back to Home »
- [Cerpen - Zaharanisaf] Kepergian Mas Purnomo
Posted by : Zahara Nisa F
Sabtu, 08 Juni 2019
Kepergian
Mas Purnomo
Zahara
Nisa F.
***
"Barangkali bagianku
cukup selesai sampai di sini. Berakhir sebagai wanita yang hanya bisa mencintai
dalam diam, merindukan dengan keras kepala hingga habis semua harapan, kemudian
menyerah dengan sendirinya."
***
Mas Purnomo tampak gagah
dalam balutan lurik dan sarung kecokelatan. Tangannya mengacungkan obor sekian
jengkal di atas kepala. Ia begitu masygul dalam barisan paling depan di antara
pemuda-pemuda lain yang juga mengenakan sarung.
“Mbak Adrina ikut takbir
keliling?” tanya Syifa. Aku segera memalingkan wajahku dari menatap Mas
Purnomo, kemudian kuhampiri Syifa yang sudah siap dengan dua obor di tangannya.
“Rutenya lumayan jauh
loh, Mbak Adrina memang tidak capek?”
Aku menggeleng sambil
tersenyum, kuterima obor dari Syifa. Lagian momentum lebaran hanya sekali
setahun, jadi sayang kalau tidak ikut takbir keliling. Apalagi, takbir keliling
kali ini dipimpin Mas Imron, kakak Mas Purnomo yang berkuliah di Kairo.
Ah, Mas Purnomo lagi.
Memikirkannya membuat dadaku sesak. Bagaimana tidak, aku mencintainya sejak
masih duduk di bangku SMA. Mas Purnomo juga selalu bilang bahwa dia
mencintaiku. Kami saling mencintai meski jarang sekali bertemu, apalagi
semenjak aku lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar kota.
Beberapa hari yang lalu
ketika masih di perantauan, aku mendengar kabar bahwa Mas Purnomo akan menikahi
anak Pak Lurah. Kabar itu bagai air bah yang menyapu seluruh bahagiaku. Aku
ingin sekali bertanya kepada Mas Purnomo, bagaimana bisa aku mendengar kabar
itu setelah janji-janji dan harapan yang kami ukir bersama?
“Mbak Adrina, ayo!” Syifa
membuyarkan lamunanku. Aku bersiap menyusul langkahnya ketika tiba-tiba
kusadari seseorang menarik lenganku.
“Ikut aku, Na. Waktu kita
tidak banyak.”
Laki-laki itu menuntunku
dalam gelap. Aku hanya pasrah, terlebih ketika kubaui aromanya yang sudah
sangat kukenal. Laki-laki ini, baru saja kupikirkan—
***
“Kamu pasti sudah
mendengar kabar itu, entah dari siapa.” Suara Mas Purnomo terdengar ragu-ragu
setengah terburu-buru. Sementara aku begitu gemetar, betapapun, bertemu lagi
dengan Mas Purnomo setelah sekian lama seolah meluapkan segala perasaan rindu
yang mati-matian kupendam.
Tetapi aku benci
pertemuan ini, pertemuan yang terlalu tiba-tiba, pertemuan yang pasti akan
berujung tangisan. Sebab, kami pasti akan membicarakan soal kabar terkutuk itu—
“Adrina….” Mas Purnomo
meraih tanganku. Sementara aku hanya menunduk. Pekarangan samping rumah yang
tanpa penerangan sependar pun membuatku tidak mampu menyaksikan wajah Mas
Purnomo.
“Lebih baik kita tidak
usah bertemu lagi, Mas.” Suara itu akhirnya keluar dari mulutku –setelah
pergolakan batin yang cukup menyiksa, menyadari betapa aku tidak mampu melihat
laki-laki yang amat kucintai akan segera menikahi perempuan lain.
Mas Purnomo tidak
menyerah, alih-alih melepas genggamannya dari tanganku, ia justru
menggenggamnya makin erat.
“Aku tahu kamu pasti
kaget….”
Iya lah, perempuan mana
yang tidak kaget ketika mendengar laki-laki yang amat dicintainya akan menikahi
perempuan lain?
“Tapi, Adrina,
percayalah… sudah kusangkal perjodohan ini mati-matian.”
Aku membayangkan wajah
perempuan itu, perempuan yang akan memiliki Mas Purnomo. Dia satu tahun lebih
muda, cantik, tamatan Aliyah dan tidak melanjutkan ke bangku perkuliahan karena
memang di desa kami, perempuan lazimnya hanya bersekolah sampai Aliyah.
“Mungkin ini saatnya aku
harus mengatakan bahwa kamu pantas mendapat yang lebih—“
“Sudah berapa kali
kukatakan, aku tidak mencari yang lebih. Aku mencintaimu, Mas….”
Kulepas tanganku dari
genggaman Mas Purnomo. Air mata mengalir dari ujung pelupuk mataku. Sesak
sekali. Tetapi, untuk saat ini bukankah sudah tak ada yang bisa kulakukan?
Dalam hening yang semakin
menyiksaku, aku mengingat percakapan-percakapanku dengan Mas Purnomo. Laki-laki
itu adalah cinta pertamaku (barangkali juga akan menjadi cinta terakhirku jika
saja setelah ini, aku tidak punya selera untuk mencintai siapa pun lagi). Dia
dua tahun di atasku dan hanya tamatan Aliyah karena orang tuanya fokus membiaya
Mas Imron. Meski begitu, aku tidak pernah keberatan perihal latarbelakang
pendidikannya. Bagiku, cinta lebih penting dari kriteria apapun. Sebab menikah
adakah pekerjaan seumur hidup, aku tidak mau bekerja seumur hidup dengan
seseorang yang salah.
Mas Purnomo selalu
bilang, dia akan berusaha. Aku percaya sebab aku yakin dia adalah laki-laki
yang mampu mempertanggungjawabkan ucapan-ucapannya. Maka kami bangun
mimpi-mimpi itu begitu megah. Aku bermimpi bisa berumah tangga dengan laki-laki
itu, melahirkan anak-anaknya, dan bahagia hingga maut memisahkan.
Semenjak aku berkuliah di
luar kota, kami jarang berkomunikasi. Mas Purnomo tidak punya ponsel.
Kadang-kadang dia menelepon lewat teman-temannya. Tetapi, meski jarang sekali
berkabar, aku menaruh percaya begitu besar. Hingga hari ketika aku mendengar
rencana pernikahan Mas Purnomo dengan anak Pak Lurah. Seluruh mimpi, harapan,
dan kepercayaan luruh begitu saja. Kata-kata Mas Purnomo dan janji-janjinya
tertinggal sebagai nyanyian yang tak sudi lagi kudengar.
“Adrina….”
Lengking takbir terdengar
dari kejauhan, tanda parade obor sudah dimulai. Sementara laki-laki di
hadapanku kembali menggamit jari-jariku.
Aku tidak mengerti apa
yang ada di pikiran orang-orang tua ketika akan menjodohkan anak-anaknya. Lebih
tepatnya, aku selalu tidak mengerti dengan konsep perjodohan. Kita dipaksa
menikah dengan seseorang yang baru saja kita kenal, yang kepadanya tak ada perasaan
barang secuil pun. Yang sudah saling mengerti dan mencintai satu sama lain saja
bisa bentrok di tengah jalan, bagaimana yang baru memulai perkenalan? Dan, hei,
ini adalah pernikahan, bukan sekadar pacaran yang bisa putus kapanpun kita
merasa sudah tidak cocok. Pernikahan adalah komitmen sepanjang hidup.
“Silakan benci aku, Na.
Sepuasmu. Demi Allah aku tidak ada niatan apapun untuk menodai cinta suci kita.
Aku hanya tidak punya digdaya. Aku memang pengecut tidak berani memperjuangkan
mimpi-mimpi kita.”
Air mata kian mengucur
deras. Tubuhku lemas. Ingin rasanya berlari sejauh mungkin sebab kenyataan
terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Bagaimana mungkin aku
harus baik-baik saja sementara aku akan melepas laki-laki yang amat kucintai
jatuh dalam pelukan perempuan lain?
Bagaimana mungkin aku baik-baik
saja sementara aku harus melihat mimpi-mimpi dan harapanku hancur bersama
kepergian laki-laki itu?
Bagaimana aku harus baik
baik saja?
Dalam ketidakberdayaan,
aku menjatuhkan tubuhku ke dalam pelukannya. Mas purnomo tampak kaget dan kikuk
dengan tindakanku yang terlalu tiba-tiba, tetapi akhirnya dia menyambut
pelukanku juga. Kami berpelukan begitu lama, aku menenggelamkan tangisanku di
dadanya, sedalam mungkin sebelum beberapa hari ke depan, dadanya menjadi milik
perempuan lain.
“Adrina, aku mencintaimu.
Tetapi mungkin benar kata orang, cinta tidak harus memiliki. Semakin kita mencintai
semakin kita ikhlas untuk melepas.”
Suara takbir kembali
melengking. Kami sudah tertinggal rombongan begitu jauh.
Kadang-kadang beberapa
hal memang hanya ditakdirkan untuk kita cintai tanpa pernah mampu kita miliki. Seperti Mas
Purnomo.
Perempuan itu adalah
takdirnya, dan barangkali bagianku cukup selesai sampai di sini. Berakhir sebagai
wanita yang hanya bisa mencintai dalam diam, merindukan dengan keras kepala
hingga habis semua harapan, kemudian menyerah dengan sendirinya.
Aku hanya takut sepuluh
dua puluh tahun dari hari ini aku masih merasakan sakit setiapkali terkenang
wajahmu, Mas.
***
Kalijurang, 9 Juni 2019
Zahara NF