Popular Post

Archive for 2014

Pria Bertopi Kuning

By : Zahara Nisa F


Pria Bertopi Kuning
Oleh : Zahara Nisa F
-Cinta pada jumpa pertama itu seperti langit dikala senja. Indah, tetapi singkat. Saking singkatnya, kita bahkan tidak sempat berkata ‘selamat bertemu’ saat akhirnya harus berkata ‘selamat berpisah’-
***
            Deru mesin kereta memekik telingaku. Aku melirik arloji, ah baru pukul empat sore, belum sepertiga perjalanan. Memang tak banyak yang bisa dilakukan di dalam kereta. Paling cuma ngeliat pemandangan. Iya kalo pemandangan alam, kalo yang terlintas kanan kiri hanya pemukiman? Membosankan.
            Di tanganku, sebuah buku dan bolpoin masih tergenggam erat. Aku tak tahu sedikitpun apa yang harus kulakukan dengan dua benda itu. Bahkan, aku sudah mencoba memutar otak, namun tetap saja ide itu tidak muncul. Uh! Setengah frustasi aku bangkit dari tempatku dan berjalan sekenanya menuju pintu gerbong. Pintu gerbong setengah terbuka, mentransfer angin dari luar ke dalam kereta. Aku berjalan mendekat, mencoba merasakannya. Saat aku menodongkan sedikit kepalaku keluar, seketika saja angin menghempasku pelan, membuat jilbab merah mudaku menari-nari kecil bersamanya. Indah, sungguh indah!
            “Angin musim panas memang mendamaikan!” Mataku sontak saja terbuka mendengar suara itu. Aku berpaling, seorang lelaki jangkung bermata sipit tengah berdiri tegap. Rambutnya kelimis, matanya kecokelatan, dan hidungnya lancip kebawah. Jika kulihat dari garis mukanya, mungkin dia sekitar 2-3 tahun lebih tua dariku. Atau mungkin saja sebaya. Ah entahlah.
            “Sejak kapan kau di sini?” Tanyaku keheranan setengah panik, takut kalo ternyata dia orang jahat yang hendak merampokku atau bahkan mendorongku keluar kereta, membunuhku.
            “Barusan. Aku heran saja melihat wanita berjilbab yang begitu anggun dengan beraninya berdiri di dekat pintu gerbong. Kau tidak sedang ingin bunuh diri kan?” Dia berjalan mendekatiku. Aku pasang muka dingin saja. Dari tatapan matanya yang halus rasanya tidak mungkin jika dia hendak merampok atau membunuhku. Tapi apa salahnya jika aku tetap waspada? Barangkali saja dia hendak menghipnotisku?
            “Kalo aku mau bunuh diri, rasanya aku tidak perlu susah payah membeli tiket mahal kereta executive hanya untuk mati. Aku bisa melakukannya dari lantai kedua rumahku. Tanpa biaya, tanpa tenaga.” Jawabku tanpa sedikitpun melirik ke arahnya.
            Ah. Meski aku mencoba untuk bersikap tenang, tetapi hatiku sungguh tak bisa dibohongi. Sembilan tahun hidup di pesantren membuatku begitu jarangnya memiliki kontak dengan makhluk bernama ‘laki-laki’ selain Abah dan Bang Rian. Paling banter-banternya ya tukang bakso depan rumah atau sepupu-sepupuku setiap kali lebaran. Jadi maklum saja kalau berdiri di samping laki-laki ini sukses membuatku berdebar bukan main. Apalagi laki-laki ini terlihat lumayan tampan.
            “Hei kenapa mukamu lucu seperti itu?” Serunya sambil tertawa. Sial! Dia menyadari kegugupanku. “Tenang aja mbak. Aku bukan orang jahat. Apa kamu pikir tampangku begitu tidak meyakinkannya?” Tambahnya. Ia menatap dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu kembali ke mataku.
            “Tadinya aku pikir kamu perampok.” Jawabku setengah berbisik. Tawanya lantas melengking, mengisi kekosongan diantara kami. Aku sejenak berpikir, apa ada yang lucu?
            “Ada-ada saja kamu ini. Masa ganteng gini dibilang perampok? Memangnya kamu mau kemana sih?”
            “Ke Malang. Daftar SMA.”
            “Baru mau masuk SMA? Oalah. Tak kira sudah mau kuliah.” Dahinya berkerut, membuatku semakin menyadari betapa dia memang tampan.
            “Yasudahlah aku pergi saja. Takut mengganggu acaramu dengan angin musim panas sore ini. Selamat menikmati kedamaian!” Ia tersenyum legit sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkanku bersama semerbak wanginya yang tak juga hilang. Oh tiba-tiba hatiku berdesir. Kenapa aku begitu tak rela dia pergi? Masih adakah waktu untukku memanggil dan memintanya agar tetap di sini, menemaniku? Perasaan apa ini? Cinta pada jumpa pertama? Mengapa begitu cepatnya? Ah entah. Nyatanya aku cuma bisa berharap aku melupakan kejadian tadi.
            Akhirnya, aku kembali menuju tempat dudukku. Bayangnya tak mau lepas dari netra ini sehingga membuatku terus-terusan berdoa supaya aku bisa bertemu lagi dengannya. Seribu penyesalan pun seketika saja muncul, mengapa tadi aku tak bertanya namanya? Kalau aku tahu siapa dia mungkin aku akan lebih mudah mencarinya. Ah kenapa tadi tak kutanyakan?
            Senja beranjak. Sepanjang malam entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan dia, bahkan dalam alam bawah sadar sekalipun. Dia telah mendominasi segalanya. Ingin rasanya aku beranjak dari tempat duduk lalu menelusuri tiap gerbong, mencarinya dalam remang-remang lampu kereta. Tapi apa mungkin? Kereta sudah begitu senyapnya sehingga aku tak yakin dia masih terbangun. Tuhan apa arti pertemuan tadi?
***
            “Perhatian kepada seluruh penumpang………” Suara speaker dari stasiun Kota Baru Malang terdengar semakin jelas. Aku segera mengaitkan ranselku di pundak lalu menenteng koper setinggi paha dengan tangan kiriku. Bersiap untuk turun.
            Sebelum aku benar-benar turun, aku menatap sekali lagi kearah pintu gerbong. Tempat dimana aku menjumpai laki-laki misterius itu, tempat dimana dia bercerita padaku tentang angin musim panas yang mendamaikan. Aaa! Dadaku terasa seperti terguncang mengingat senyum seringainya, mengingat semerbak wanginya. Dimana dia sekarang? Mungkin dia sudah turun di stasiun sebelum ini, atau mungkin juga dia turun di sini tapi tak bisa kujangkau dengan mata karena begitu banyaknya kerumunan orang.
            Aku berjalan menuju pintu keluar, dengan berat hati. Saat aku betul-betul sampai di pintu keluar, seseorang menenggorku. “Um maaf. Tak sengaja.” Ujarnya sambil membenarkan letak jaketnya. Aku menatap tak percaya saat aku sadar betapa seseorang yang menenggorku tadi adalah dia, laki-laki yang bercerit padaku perihal angin musim panas sore lalu. Tuhan, benarkah dia sekarang di hadapanku? Ini bukan illusi kan? Dadaku bergetar begitu hebat tanpa kendali.
            “Eh kamu lagi. Malangnya Malang mana sih?”  Laki-laki itu tersenyum lebar. Syukurlah, jadi ini memang bukan illusi.
            “Arjo…” Sebelum aku selesai berkata, seorang wanita paruh baya menepuk pundaknya. Dia berpaling sebentar, “Eh udah dulu ya. Sampai ketemu!” Dia beranjak pergi, menjauh dari hadapanku. Baru saja aku merasa puas dengan pandangan kedua, dia malah pergi begitu saja. Tanpa menyebut nama pula.
            “Ah sudahlah. Mungkin memang bukan jodoh” Selorohku sambil terus memandangi punggungnya yang kian mengecil dan menghilang dibalik kerumunan angkot-angkot. Dasar, pria bertopi kuning yang tak pernah ku ketahi namanya. Akankah kita bisa bertemu lagi?.

PETUAH SI GADIS KECIL NAN ANGGUN

By : Zahara Nisa F
*adaptasi kisah nyata*
Pagi itu, langit tampak redup. Mentari seolah tak sudi beranjak dari peraduannya. Pun Sang Rinai, ia tak jua berhenti sejak semalam. Sebenarnya, aku malas berangkat sekolah pada keadaan seperti ini, tapi apa boleh buat? Aku tidak ingin teman-teman memaki, juga tak ingin membuat orang tua kecewa. Akhirnya, dengan setengah hati kuputuskan untuk tetap berangkat ke sekolah, bagaimanapun caranya.

Langit masih menghitam saat aku mencoba menerjang hujan. Tak ada satupun kendaraan yang menghampiriku, kecuali sebuah minibus pink butut yang deru mesinnya begitu memekik di telinga. Ia berhenti tepat di hadapanku, menciptakan cipratan kecil air kotor yang membuat rokku kusam kecokelatan. Ah sial, kalau saja aku punya kuasa, akan ku bentak si supir dan menjebloskannya ke penjara(?) Tapi, itu khayal, aku bahkan tetap beranjak naik kedalam bus dan melupakan betapa bersalahnya si supir yang telah membuat rokku kusam.

Di dalam bus persegi panjang berukuran 4x2m itu aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Tak ada bangku kosong, apa boleh buat? tiga puluh menit ke depan aku akan rela berdiri di gantungan, kecuali kalau salah satu dari mereka ada yang turun sebelumku. Ketika aku hendak meraih gantungan bus, seorang anak kecil menarik bajuku, seperti memberi isyarat. Aku kemudian menengok. Perempuan kecil itu begitu anggunnya dengan luka kecil di mata sebelah kanan. Alisnya tebal hitam, bibirnya kecil, sepasang lesung pipit begitu cocok diwajahnya.
"Ada apa dik?" Sahutku, tersenyum. Dia kemudian menunjuk kearah bangku yang tadi ia duduki. Ah, mungkin dia menawariku untuk duduk disana, betapa gadis kecil yang anggun.
"Tidak usah, kamu saja." Lanjutku mengusap kepalanya, dia kemudian berlari kecil menuju ke bangkunya. Sejak kecil aku selalu diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, apalagi pada anak kecil dan orang jompo. Jadi, aku tidak punya alasan sedikitpun untuk merebut tempat duduk si gadis kecil itu. Aku tetap berdiri mematung, mengatur keseimbangan.

Belum lama aku berdiri, bus berhenti lagi. Kali ini seorang lelaki tampak lebih tua dariku masuk tanpa menoleh kanan kiri, dia lalu berdiri di sampingku. Dari samping, aku melihat si gadis itu beranjak lagi, lalu menawarkan tempat duduknya kepada lelaki itu, persis seperti saat ia mewarkannya padaku. Aku kemudian membatin, Ah kenapa si gadis ini begitu aktifnya?

Memasuki menit ke duapuluh lima semenjak aku masuk, bus berguncang menabrak kubangan. Sontak seisi penumpang kaget dan berteriak. Aku sebisa mungkin untuk tenang, saat aku menoleh ke belakang, aku melihat si gadis itu sedang kesusahan membantu ibunya yang terjatuh. Saat ibunya sudah berhasil bangkit, dia meminta ibunya untuk duduk di tempatnya. Aku tidak tahu maksudnya apa. Mungkin agar ibunya tak lagi terjatuh. Jika iya, benarlah kalau gadis kecil itu memang berperangai anggun.

Bus kembali berjalan, sampai aku menyetopnya. Ketika aku hendak turun, aku menengok ke gadis itu, sekali lagi. Kulihat dia sedang tersenyum sambil mengucapkan Sampai Jumpa kepadaku, tetapi dengan gerakan tangan. Gadis itu tuna wicara, tapi mengapa tampak begitu cerianya? Gadis itu tak bisa bicara, tapi kenapa tak pernah sungkan menawarkan bantuan pada orang lain? Aku terenyuh, menutup mataku. Jika gadis kecil itu yang merasa sulit untuk mengucapkan "Silahkan duduk" saja begitu semangatnya memberi bantuan, kenapa kita yang di beri kemudahan justru tidak?

Pagi itu, alam memberiku petuah lewat si bocah kecil yang anggun, membuatku malu pada Tuhan betapa akau tak bisa menggunakan anugerahNya untuk menolong sesama. Mengapa aku baru menyadarinya?

Aku kemudian membalas senyumnya sambil berkata, "Sampai ketemu lagi".
By : Zahara Nisa F


Assalamualaikum wr.wb.
Hallo semua yang lagi dudukan, tiduran, nonton tv, makan, atau juga yang lagi b*b(:v) mulai dari muda sampe tua gue cuma mau nanya sama kalian, seberapa penting sih masa kecil buat kalian? Kalo kalian jawab dengan “penting banget lah!” atau juga “ngga akan gue lupain deh” berarti kalian semua sama kayak gue.
Sejauh ini, masa kecil itu udah kayak the most happening lah buat gue. Ya, meski gue ngga kayak kakak gue sih yang bisa nginget semua memori itu satu-satu secara detail. Gue cuma nginget poin-poinnya doang. Tapi, semua itu selalu berhasil bikin gue ngakak setiap kali ngingetnya.
Masa kecil gue ngga jauh beda dari masa kecil kakak, kita selalu kalah. Kalah dalam hal apapun. Misalnya kayak dulu waktu sd, gue selalu dapet nilai jelek di mata pelajaran olahraga, nah kakak gue juga gitu. Terus temen-temen kelas bisa lompat tinggi nyampe seratus centi lebih gue cuma bisa delapan puluh centi atau paling tinggi delapan lima lah, begitu juga kakak gue. Pokoknya bakat gue selalu ngga jauh beda lah dari bakat kakak gue.
 Ada satu cerita yang bener-bener gue inget sampe sekarang, gini:
Dulu kan waktu sd biasanya ada imunisasi tuh. Nah dokter yang dateng ke kelas gue biasanya dokter yang tampilannya nyeremin. Jadi siang itu gue sama temen sebangku gue yang namanya Monik itu ngerasa panik. Kita sama-sama takut jarum suntik. Satu-satunya tempat yang biasa kita gunain buat ngumpet dari para dokter itu adalah kamar mandi sekolah. Tapi hari itu, Bu Masruroh wali kelas kita seperti tahu pikiran kita, beliau menutup pintu kelas rapat-rapat dengan maksud supaya kita berdua tidak bisa keluar. Terpaksa, kita stay di kelas dengan detak jantung yang semakin menjadi. Beberapa waktu berlalu, antrean mulai berkurang. Gue menatapi ekspresi teman-teman yang sudah di suntik. Ada yang biasa saja dan hanya keluar darah sedikit, ada yang menangis sambil teriak-teriak, ada juga yang darahnya keluar banyak kayak habis kena pisau. Jujur, gue takut banget waktu itu. Waktu terus berlalu, singkat cerita antrean tersisa gue sama monik. Monik merem-merem pasrah. Sambil membaca doa dengan gaya seperti orang berbisik, Monik memegang erat rok merahnya yang sepanjang lutut. Sang dokter yang duduk disampingnya memainkan alat suntik seperti yang biasa di lakukan di sinetron, memetik-metik ujungnya. Dan.. cussss monik merintih kesakitan. Darah merah keluar dari pori-pori kulitnya, dia sudah di suntik. Raut mukanya menunjukan betapa dia merasa kesakitan. Ah.. gue tambah takut. Tekanan darah gue kayak naik waktu itu, jauh dari normal. Apalagi waktu bu guru nyebut nama gue. Ya, waktu giliran gue tiba. Gue mendekati sang dokter dengan langkah yang lemah.
“Tenang aja nak, baca bismillah. Jangan takut” Kata bu dokter. Gue terus mejemin mata, mencoba buat tenang. Dan satu.. dua.. tiga.. gue masih belum merasa sesuatu menyentuh kulit gue. Baru setelah lima detik kemudian, gue betul-betul merasakan bagaimana ‘pedih’ yang sebenarnya. Gue ngga teriak, Cuma nangis dikit aja sih. Haha, baru setelah gedean dikit gue ngerti lah yang bikin sakit sebenernya bukan jarum suntiknya, tapi justru rasa takut. Karena kalo kita ragu dan takut, semua akan terasa berat. That’s right! Dari situ gue bisa ngambil pelajaran.
Lain ceritanya kakak gue, kalo lagi musim imunisasi dia nggak ngumpet, tapi langsung pulang tanpa pamit guru. Lebih parah yes~
Ya intinya emang gue ngga jauh beda sama kakak gue lah. Kita sama-sama lemah, sama-sama sering kalah, sama-sama penakut. Tapi kita punya satu hal yang orang lain ngga punya. Hanya saja satu hal itu memang belum kita temukan. Entah karena memang belum waktunya, atau sebenarnya sudah ada dalam diri kita tapi kita tidak menyadarinya. Gue ngga tau. Tapi yang jelas, ngga ada kata-kata menyerah. Keep run ok;) khususon buat kakak gue yang lagi di sibukin sama kuliahnya.
By : Zahara Nisa F


Assalamualaikum wr.wb.
Ogenki desu ka? Hirashiku aimasen deshita, ne. ^^
Lagi dan lagi, dilapak ini, saya ingin menorehkan senoktah harapan melalui puisi-puisi saya yang mungkin mempunyai sangat banyak kekurangan. Bagi saya, puisi adalah segalanya. Seperti yang dikatakan oleh William Wordsworth; “Puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh daya, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian”. Lewat puisi, saya bisa mengungkapkan apapun yang tak bisa diungkapkan oleh lisan, mengungkapkan sesuatu yang terpendam, dan mengungkapkan apa yang menghantui pikiran.
Dan di bawah ini adalah puisi yang saya buat sekitar 6 bulan lalu, puisi yang saya persembahkan untuk Bapak Sutomo, guru Bahasa Jawa yang saat itu barusaja purna tugas. Juga untuk ibu Dede Nurdiawati, guru Bahasa Inggris yang saat itu harus mengajar di salah satu perguruan tinggi di daerah kami, sehingga dengan berat hati harus meninggalkan SMP kami tercinta. Hari itu, kami kehilangan dua guru bahasa hebat. Dan hari itu juga kami, khususnya saya telah mengerti makna sebuah perpisahan. Selamat membaca :)

Sajak Untuk Sebuah Perpisahan
Oleh : Zahara Nisa Fadila ( Aurelia Aurora = penname)

Desau angin terdengar merintih
Menghantam seluruh pilu dalam pelupuk
Menggelayut dalam puing-puing asa yang nyaris rapuh
Saat mata dan mata saling melepas ikatannya.

Berjam-jam, bahkan berhari-hari
Kutapaki jalan ini bersama kau, insan tanpa tanda jasa
Yang selalu menyibak kegelapan di celah-celah pikiran
Atau tak henti menguras keringat untuk sebuah pengabdian

Melodi itu, kini hanya sebagai sayup-sayup samar
Sorak tepuk tangan seakan tenggelam
Dan sepintai senyum pada akhirnya menjelma tangis
Tuhan.. mengapa secepat ini?
Tuhan.. mengapa sesingkat ini?

 Tak terhitung berapa banyak kata yang kau ucap
Tapi, apa kami pernah berfikir tentang itu?
Seuntai kata maaf tak pernah sebanding,
dengan berapa kali lisan ini menorehkan luka dalam hatimu

Guruku..
Kau tetap jadi awan peneduh
Meski seringkali gelap merenggut
Maka biarkan kami menjadi bintang-bintang
Yang akan selalu menerangimu dalam temaram
Selamat jalan guruku..


            Puisi diatas pernah dibacakan di depan kakak kelas dan teman teman setelah upacara bendera. Bukan saya yang membacakannya, meski begitu saya tetap merasa takut, malu. Namun berkat penghayatan yang luar biasa dari sang pembaca, Alhamdulillah pembacaan puisi tersebut bisa berjalan dengan lancar. Saya luar biasa senang. Itulah kebahagiaan yang sesunggunghnya, sesungguhnya.

Mohon kritik dan saran,
Silahkan kirim via email zaharanissaff@gmail.co.id
Atau via inbox di akun facebook saya: Zahara Nisa Fadila
Atau juga melalui Direct Message dan mention twitter di @zahara_barcelon
Atau silahkan langsung tulis di kolom komentar di bawah ini,

Arigatou gozaimasu ^^ Mata aimashoo~
Wasaalamualaikum wr.wb

Bisikan Sang Malam, Fatamorgana. Puisi perdana bulan juni.

By : Zahara Nisa F


Assalamualaikum wr.wb
Selamat malam semuanyaa. Buat ngisi kekosongan, kali ini aku mau ngepost puisi nih. Sebelumnya, selamat ya buat kakak-kakak kelas sembilan yang udah lulus UN, semoga bisa ngelanjutin ke sma/smk favorit. Doa saya selalu menyertai.. aamiin
Mohon koreksinya teman-teman ^^



Bisikan Sang Malam, Fatamorgana
Oleh : Zahara Nisa Fadila (Aurelia Aurora)

Rintih senja masih membekas di antara riuhnya ribuan rinai
Bergemericik ayu menjerat angan, tenggelam oleh gelegar sunyi
Ku dengar angin berbisik lamban, "Hei, cepat ucap. Tak usah kau tunda!"
Ah! Aku menggerutu. Bagaimana pula hendak ku kata, sedang bungkam membelai mesra sang pengecap?

Wahai sempoyong angin yang menari
Sudikah kau tinggal sekedip? Mendengar rasa yang mengujar
Aku ingin bercerita, sungguh.
Sudikah engkau sempoyong? Sudikah?

Kumulai sejak huruf pertama
Puluhan kata mulai berterbangan keluar melalalui epiglotis
Ah, dadaku semakin sesak mengingat sosok itu
Kapankah mata kan menjumpainya lagi?

Pabila daku suka, salahkah?
Pabila daku rindu, salahkah?
Pabila daku harap, salahkah?
Pabila daku ingin berjumpa. salahkah?

Sempoyong..
Akankah langkahmu sanggup menghantarkan kesimpah rinduku?
Atau hanya sekedar menyapu bayangnya untuk tidak lagi hadir
Ku harap, desaumu akan tiba di kediamannya
Bisikkan pada gendangnya bagaimana aku berteriak, lalu dia akan datang dan menemuiku

Namun, aku sadar. Kenyataan tak sedemikian
Sempoyong langkah angin, bisikkan, hanyalah fatamorgana
Bagaimanapun, ia tak akan tahu jika hanya ku bicarakan lewat angin
Sampai kapanpun, angin tetaplah benda mati

Ah, rasa ini masih mengutukku dalam kebisuan..

Zahara/8/6/14


Udah, segitu aja. Oh iya, maaf kalo belepotan puisinya, maklum wong cuma iseng. Tapi, aku ngga ada niatan buat curhat kok. Sunnguh. Aku cuma ngutarain ideku. Buat para jomblo yang lagi nunggu, silahkan di resapi.. kali aja someone mu bakal peka. Hahah

Udah dulu ya, smpai ketemu..
Wassalamualaikum wr.wb ^^


- Copyright © hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -