Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Kamis, 25 Desember 2014



Pria Bertopi Kuning
Oleh : Zahara Nisa F
-Cinta pada jumpa pertama itu seperti langit dikala senja. Indah, tetapi singkat. Saking singkatnya, kita bahkan tidak sempat berkata ‘selamat bertemu’ saat akhirnya harus berkata ‘selamat berpisah’-
***
            Deru mesin kereta memekik telingaku. Aku melirik arloji, ah baru pukul empat sore, belum sepertiga perjalanan. Memang tak banyak yang bisa dilakukan di dalam kereta. Paling cuma ngeliat pemandangan. Iya kalo pemandangan alam, kalo yang terlintas kanan kiri hanya pemukiman? Membosankan.
            Di tanganku, sebuah buku dan bolpoin masih tergenggam erat. Aku tak tahu sedikitpun apa yang harus kulakukan dengan dua benda itu. Bahkan, aku sudah mencoba memutar otak, namun tetap saja ide itu tidak muncul. Uh! Setengah frustasi aku bangkit dari tempatku dan berjalan sekenanya menuju pintu gerbong. Pintu gerbong setengah terbuka, mentransfer angin dari luar ke dalam kereta. Aku berjalan mendekat, mencoba merasakannya. Saat aku menodongkan sedikit kepalaku keluar, seketika saja angin menghempasku pelan, membuat jilbab merah mudaku menari-nari kecil bersamanya. Indah, sungguh indah!
            “Angin musim panas memang mendamaikan!” Mataku sontak saja terbuka mendengar suara itu. Aku berpaling, seorang lelaki jangkung bermata sipit tengah berdiri tegap. Rambutnya kelimis, matanya kecokelatan, dan hidungnya lancip kebawah. Jika kulihat dari garis mukanya, mungkin dia sekitar 2-3 tahun lebih tua dariku. Atau mungkin saja sebaya. Ah entahlah.
            “Sejak kapan kau di sini?” Tanyaku keheranan setengah panik, takut kalo ternyata dia orang jahat yang hendak merampokku atau bahkan mendorongku keluar kereta, membunuhku.
            “Barusan. Aku heran saja melihat wanita berjilbab yang begitu anggun dengan beraninya berdiri di dekat pintu gerbong. Kau tidak sedang ingin bunuh diri kan?” Dia berjalan mendekatiku. Aku pasang muka dingin saja. Dari tatapan matanya yang halus rasanya tidak mungkin jika dia hendak merampok atau membunuhku. Tapi apa salahnya jika aku tetap waspada? Barangkali saja dia hendak menghipnotisku?
            “Kalo aku mau bunuh diri, rasanya aku tidak perlu susah payah membeli tiket mahal kereta executive hanya untuk mati. Aku bisa melakukannya dari lantai kedua rumahku. Tanpa biaya, tanpa tenaga.” Jawabku tanpa sedikitpun melirik ke arahnya.
            Ah. Meski aku mencoba untuk bersikap tenang, tetapi hatiku sungguh tak bisa dibohongi. Sembilan tahun hidup di pesantren membuatku begitu jarangnya memiliki kontak dengan makhluk bernama ‘laki-laki’ selain Abah dan Bang Rian. Paling banter-banternya ya tukang bakso depan rumah atau sepupu-sepupuku setiap kali lebaran. Jadi maklum saja kalau berdiri di samping laki-laki ini sukses membuatku berdebar bukan main. Apalagi laki-laki ini terlihat lumayan tampan.
            “Hei kenapa mukamu lucu seperti itu?” Serunya sambil tertawa. Sial! Dia menyadari kegugupanku. “Tenang aja mbak. Aku bukan orang jahat. Apa kamu pikir tampangku begitu tidak meyakinkannya?” Tambahnya. Ia menatap dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu kembali ke mataku.
            “Tadinya aku pikir kamu perampok.” Jawabku setengah berbisik. Tawanya lantas melengking, mengisi kekosongan diantara kami. Aku sejenak berpikir, apa ada yang lucu?
            “Ada-ada saja kamu ini. Masa ganteng gini dibilang perampok? Memangnya kamu mau kemana sih?”
            “Ke Malang. Daftar SMA.”
            “Baru mau masuk SMA? Oalah. Tak kira sudah mau kuliah.” Dahinya berkerut, membuatku semakin menyadari betapa dia memang tampan.
            “Yasudahlah aku pergi saja. Takut mengganggu acaramu dengan angin musim panas sore ini. Selamat menikmati kedamaian!” Ia tersenyum legit sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkanku bersama semerbak wanginya yang tak juga hilang. Oh tiba-tiba hatiku berdesir. Kenapa aku begitu tak rela dia pergi? Masih adakah waktu untukku memanggil dan memintanya agar tetap di sini, menemaniku? Perasaan apa ini? Cinta pada jumpa pertama? Mengapa begitu cepatnya? Ah entah. Nyatanya aku cuma bisa berharap aku melupakan kejadian tadi.
            Akhirnya, aku kembali menuju tempat dudukku. Bayangnya tak mau lepas dari netra ini sehingga membuatku terus-terusan berdoa supaya aku bisa bertemu lagi dengannya. Seribu penyesalan pun seketika saja muncul, mengapa tadi aku tak bertanya namanya? Kalau aku tahu siapa dia mungkin aku akan lebih mudah mencarinya. Ah kenapa tadi tak kutanyakan?
            Senja beranjak. Sepanjang malam entah kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkan dia, bahkan dalam alam bawah sadar sekalipun. Dia telah mendominasi segalanya. Ingin rasanya aku beranjak dari tempat duduk lalu menelusuri tiap gerbong, mencarinya dalam remang-remang lampu kereta. Tapi apa mungkin? Kereta sudah begitu senyapnya sehingga aku tak yakin dia masih terbangun. Tuhan apa arti pertemuan tadi?
***
            “Perhatian kepada seluruh penumpang………” Suara speaker dari stasiun Kota Baru Malang terdengar semakin jelas. Aku segera mengaitkan ranselku di pundak lalu menenteng koper setinggi paha dengan tangan kiriku. Bersiap untuk turun.
            Sebelum aku benar-benar turun, aku menatap sekali lagi kearah pintu gerbong. Tempat dimana aku menjumpai laki-laki misterius itu, tempat dimana dia bercerita padaku tentang angin musim panas yang mendamaikan. Aaa! Dadaku terasa seperti terguncang mengingat senyum seringainya, mengingat semerbak wanginya. Dimana dia sekarang? Mungkin dia sudah turun di stasiun sebelum ini, atau mungkin juga dia turun di sini tapi tak bisa kujangkau dengan mata karena begitu banyaknya kerumunan orang.
            Aku berjalan menuju pintu keluar, dengan berat hati. Saat aku betul-betul sampai di pintu keluar, seseorang menenggorku. “Um maaf. Tak sengaja.” Ujarnya sambil membenarkan letak jaketnya. Aku menatap tak percaya saat aku sadar betapa seseorang yang menenggorku tadi adalah dia, laki-laki yang bercerit padaku perihal angin musim panas sore lalu. Tuhan, benarkah dia sekarang di hadapanku? Ini bukan illusi kan? Dadaku bergetar begitu hebat tanpa kendali.
            “Eh kamu lagi. Malangnya Malang mana sih?”  Laki-laki itu tersenyum lebar. Syukurlah, jadi ini memang bukan illusi.
            “Arjo…” Sebelum aku selesai berkata, seorang wanita paruh baya menepuk pundaknya. Dia berpaling sebentar, “Eh udah dulu ya. Sampai ketemu!” Dia beranjak pergi, menjauh dari hadapanku. Baru saja aku merasa puas dengan pandangan kedua, dia malah pergi begitu saja. Tanpa menyebut nama pula.
            “Ah sudahlah. Mungkin memang bukan jodoh” Selorohku sambil terus memandangi punggungnya yang kian mengecil dan menghilang dibalik kerumunan angkot-angkot. Dasar, pria bertopi kuning yang tak pernah ku ketahi namanya. Akankah kita bisa bertemu lagi?.

{ 2 komentar... read them below or Comment }

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -