Archive for Maret 2015
Pistol-pistol Air (Oneshoot)
By : Zahara Nisa F
Title :
Pistol-pistol Air
Penulis :
Zahara Nisa Fadila
Genre :
Friendship Romance
Oneshoot. Happy reading^^
Pistol-pistol
Air
Oleh : Zahara Nisa Fadila
***
Aku mengarahkan raketku kedepan, membabat habis
bola-bola berian lawan. Ah sebenarnya ini bukan pertandingan resmi, hanya saja
aku sedikit lebih serius mengingat lawanku sendiri adalah Akbar. Aku tak mau
terlihat lemah di hadapannya. Sungguh.
Akbar setahun lalu adalah dominasi dari kehidupanku.
Mimpi, realita, semua selalu tentangnya. Namun saat ini, dia bukan lagi Akbar
yang kukenal dulu. Sekarang, dia betul-betul berantakan. Sudah tak pernah lagi
ke masjid, mengaji, pun sholat lima waktu. Akbar sekarang adalah Akbar tanpa
cahaya, tanpa bayang bayang impian. Andai saja Akbar mengerti, aku mengharap
dia yang dahulu.
***
Soal kedekatanku dengan Akbar setahun lalu. Uhm aku
harus mengingatnya lagi ya? Ah sudahlah. Jadi sebenarnya begini…
(1 tahun lalu)
“Mbak Shaf coba lihat siapa yang datang.” teriak
Mela, sepupuku. Matanya berkila-kilat penuh cahaya, begitulah ia ketika
tertimpa kesenangan. Full ekspresi.
“Memangnya siapa? Mengapa kamu begitu semangatnya
Mel?”
Mela hanya tersipu. Kuhampiri jendela tua di pojok
kamar. Sesosok lelaki tegap terlihat tak jauh dari rumahku. Akbar. Sudah pasti
dia pulang, dia dan keluarganya memang selalu merayakan lebaran di sini.
“Oh Akbar. Oalah, Mbak Shaf nyampe lupa kalo kamu
pernah suka sama dia. Jadi itu ya mengapa kamu semperin Mbak Shaf dengan
sesemangat itu?”
Mela mengangguk. Ada sebagian dari diriku yang
terenyuh ketika melihatnya. Pasalnya, aku juga telah menyukai Akbar, jauh hari
sebelum Mela. Aku tak pernah mengerti bagaimana harus mengungkapkan pengakuan
ini pada Mela. Aku terlalu khawatir akan menyakiti perasaannya. Terlebih ketika
aku mengingat janji besarku dengan Mela, “Kita tidak boleh menyukai lelaki yang
sama Mbak Shaf” katanya tempo hari. Maka dari itu aku cuma bisa memendam. Jika
Akbar jodohku, Allah akan menghalalkannya kelak. Jika tidak, aku ikhlas dia
bersama Mela. Ya, perasaan cinta yang sesungguhnya terkadang memang hanya
sesimpel itu.
“Yasudah Mbak Shaf, kita samperin aja yuk. Uhm aku
sudah cantik kan?” Mela merapikan rambutnya di depan cermin kamarku. Cantiknya
dia, ya berbanding terbalik lah dengan aku.
“Mela cantik kok. Tidak usah khawatir. Akbar pasti
suka.”
Mendengar pujianku, Mela lantas melesat mengahampiri
Akbar. Aku hanya tersenyum sambil menahan luka. Luka terdalam. Dan dengan
langkah yang dikuat-kuatkan aku mencoba menyusul.
“Selamat malam Kak Akbar. Ingat aku kan?” ucap Mela
dengan suara yang diimut-imutkan. Itu wajar, umur Mela memang dua tahun lebih
muda dariku, dari Akbar.
“Hmm siapa ya?”
“Yah Kak Akbar. Padahal aku..”
Akbar mengusap kepala Mela. Seorang kakak pada
adiknya. Oh tidak, itu lebih seperti seorang lelaki pada kekasihnya. Ya Tuhan
aku bisa gila.
“Aku pasti ingat Mel. Memangnya aku sudah terlalu
tua dimatamu sampai-sampai kamu memfitnahku melupakan semua tentangmu. Tidak
bakalan.”
Mela tersenyum. Tampaklah wajah ranum dimatanya. Itu
semakin membuat hatiku merasa cenat-cenut kesakitan. Mengapa bukan aku yang
diperlakukan seperti itu?
“Kak masuk yuk. Kebetulan Mbah Ijah juga sedang
dirumah kami.” Mela berlari menjauh, mendahului.
Kini, sisalah kami berdua. Saling tatap, kemudia
berpaling. Tatap lagi, berpaling lagi.
“Shaf. Apa kabar?” tanya Akbar akhirnya. Mungkin
karena mulai lelah dengan permainan ‘tatap-paling’ seperti demikian. Dia
terlihat canggung. Mengapa?
“Baik. Seperti yang kamu lihat. Kamu juga pasti baik
kan?”
“Ya begitulah.”
Kami berjalan bersama menuju rumah. Langit Ramadhan
samar-samar diatas sana. Akankah beberapa waktu kedepan aku akan merasakan
sakit seperti itu secara terus menerus?.
--
Setelah menghadiri pengajian fajar, aku memutuskan
untuk menyiram bunga di taman. Rutinitas bulan Ramadhan memang selalu indah.
Sesaat, seseorang menepuk pundakku, tanpa kusadari.
“Shaf.” Akbar tersenyum. Aku membalasnya sedikit
sambil meneruskan pekerjaanku.
“Bunga di sini begitu asri ya Shaf. Benar-benar
rumah kedua yang indah.”
“Rumah kedua?” kuhentikan siramanku dan berbalik
menatapnya.
“Ya Tuhan aku lupa mengatakannya. Jadi untuk
kedepan, aku memang akan tinggal dan sekolah di sini.”
Aku tersentak. Tinggal? Sekolah? Berarti cukup lama?
Kesakitan apalagi yang hendak kuterima kedepan Ya Tuhan? Bagaiamana jika aku
tak kuat menampungnya? Berapa besar Mela akan semakin menyukai laki-laki ini?
“Oh syukurlah. Selamat datang dan selamat menetap.
Semoga bisa menjadi rumah yang layak.”
Akbar tertawa sambil membelai lembut bunga-bunga di
hadapan kami. Bunga yang menjadi saksi bisu betapa dadaku berdetup kencang
karena Akbar, senada dengan jarum jam. Selang beberapa saat, Mela muncul dan
menarikku pergi. Bibirnya bergetar. Cemburu.
“Jadi, apa yang sedang Kak Shaf lakukan berdua? Kita
tidak akan menyukai seseorang yang sama. Ingat?”
“Jangan khawatir. Pembicaraan yang tidak seperti
dugaanmu Mel.”
Aku melihat raut mukanya yang tegang berubah jadi
lega. Bagaimanapun, seseorang yang mengetahui bahwa prasangka buruknya ternyata
bukan merupakan sebuah kenyataan, dia pasti akan senang, lega.
Aku turut lega. Setidaknya, Mela tidak menyadari
degup jantung juga tangan gemetar yang kusembunyikan di balik saku rok.
--
Seminggu Akbar tinggal, kami mulai dekat. Tentu saja
tanpa sepengetahuan Mela. Aku benar-benar merasa menjadi seorang kakak yang
berkhianat pada adiknya. Namun meski begitu, aku juga tak bisa menahan perasaan
cintaku. Mungkin itulah mengapa orang menyebut cinta itu buta; cinta tidak
pernah peduli situasi dan kondisi, tidak juga pada sebab dan akibat.
Kami pergi bersama, ke taman, ke sawah, ke sungai,
kami selalu bersama. Sampai pada suatu malam. Malam takbiran itu..
“Shaf. Aku mau bicara.” Akbar berteriak hingga
suaranya menyatu dengan seruan takbir di setiap sudut desa. Aku berdebar. Takut
dia berkata yang tidak-tidak.
Aku mengangguk, sambil berusaha menghampirinya.
Hembus angin malam terasa mendayu, mengisi jarak diantara kami.
“Shaf. Bolehkah aku menjadikanmu sebagai wanita yang
paling kutunggu?”
Aku tersentak. Kutatap matanya yang bercayaha,
memantulkan bias sang rembulan. Dia tidak sedang berbohong.
“Haha. Mungkin terlalu cepat. Tapi kalau saja kamu
tahu, aku menyukaimu sudah sejak kita kecil dahulu Shaf.”
Aku menunduk, lama. Lalu segera mendongak. Saat aku
menatapnya, aku melihat Mela dibalik punggung Akbar. Segera saja jantungku
berpacu cepat. Antara bingung dan merasa bersalah.
“Mel!” teriakku, mengejarnya. Namun ia sudah
terlanjur lenyap dibalik pintu rumah yang semakin ramai. Aku tak mungkin
bertengkar dan berdebat dengannya dimalam sesuci malam takbir. Akhirnya aku
hanya menangisi kepergiannya. Berharap ia tidak membenciku karena masalah ini.
“Kamu tahu Bar? Mela itu suka sama kamu. Dia itu
cinta sekali. Dan gara-gara kamu bilang seperti itu padaku, dia jadi marah kan?
Aku benci kamu Bar!” teriakku sesenggukan, bertahan untuk tetap
membelakanginya, aku tak mau dia melihatku menagis. Aku juga tak mau Akbar
menyadari betapa sakitnya hatiku saat berteriak membencinya.
“Shaf, aku.. maafkan aku yang tidak pernah menyadari
itu. tapi kamu tahu cinta tak bisa dipaksa bukan?”
“Tinggalkan aku sendiri Bar. Sudah kubilang aku
membencimu!”
Akbar berjalan melewatiku. Dadanya berguncang.
Entahlah itu merupakan sebuah tangisan atau bukan. Yang jelas, sepanjang malam
itu aku hanya menetap di taman. Sampai ketika suara takbir mulai samar-samar,
aku kembali menuju kamar dan Mela tidak berada di sana. Dia marah padaku,
mungkin akan dalam jangka yang lama.
Semenjak saat itulah aku melihat Akbar mulai
berantakan setiap harinya. Terlebih ketika bapak ibunya bercerai. Dia tak
pernah berangkat sekolah dan hanya terus mengurung di kamar. Paling-paling kalo
keluar hanya untuk sekedar bergabung dengan club malam, mabuk-mabukan sampai
larut malam. Kadang tak pernah kembali dalam beberapa hari. Mbak Ijah seperti
sudah kewalahan mengurusnya. Aku merasa bersalah karena semua ini juga akibat
dari perbuatanku. Perasaankulah biang dari segala-galanya ini.
***
Aku masih dengan raketku, dengan Akbar, dengan Mela,
dan dengan Wisnu. Setahun berlalu, hubunganku dengan Mela sudah jauh lebih
baik. Hubunganku dengan Akbar juga mulai memulih, meskipun jelas tak bisa
kembali seperti dulu lagi. Apalagi setelah kehadiran Wisnu, sahabat baik kami
pindahan dari Bogor.
“Kring-kring” ponselku berbunyi. Aku member isyarat
pada mereka untuk menepi.
Kubaca pesan itu perlahan. Dari penerbit, yeah
bukuku gagal diterbitkan lagi. Aku menunduk lesu sambil menghampiri tempat
duduk di samping lapangan.
Tanpa kusadar, Akbar menghampiri dan duduk tak jauh
dari tempatku.
“Mengapa?”
Aku menyodorkan ponselku padanya, memperlihatkan pesan
dari penerbit soal kritik-kritikan atas karyaku.
“Coba lagi dong.”
“Tapi kamu sendiri tahu Bar. Aku sudah mencobanya
berpuluh-puluh kali, tapi tetep aja gini. Mungkin jalanku memang bukan di
sini.”
Hening.
Akbar tak menjawab apapun.
Tiba-tiba saat kami saling beria dalam keheningan,
seorang anak kecil menghampiri dengan muka masam.. Sepertinya dia anak si
empunya lapangan. Setiap kami kesini, kami memang selalu melihat dia, bermain
pistol-pistolan air bersama temannya.
“Bang pompain dong. Airnya ngga mau keluar.” rengek
anak lelaki lima tahunan itu. Uhm apa pula? Mengapa aku malah melihatinya?
Aku mengalihkan pandangan, menatap Mela yang sedang
serius dengan Wisnu. Dahulu, dia akan marah jika Akbar menghampiriku seperti
ini. Secara ajaib, aku malah terbahak sendiri.
“Shaf, seperti pistol-pistol air itu. untuk bisa
mengeluarkan muatan air diselang dalamnya, kita harus mompa dia dulu.” kata
Akbar tiba-tiba. Aku benar-benar tidak tahu apa maksud-piaksudnya
pembicaraannya.
“Kamu ngomong apa sih Bar?”
“Ya, kamu sama aja gitu. kalo kamu nggamau mompa
potensi kamu lewat usaha yang terus menerus, ya apapun bakat kamu yang
tersembunyi didalam situ ngga bakal keluar.’ sambungnya.
“Kamu kayak ngga tau aja. Aku udah puluhan kali
usaha Bar.”
“Semakin lama kita mompa, air dipistol itu bakal
semakin banyak keluar. Ya pikir ajalah Shaf.”
Aku termenung. Mengapa Akbar berbicara seperti itu?
Sepeduli inikah dia terhadap cita-cita? Apa dia tidak berpikir bahwa kalimatnya
barusan sangat menyimpang dengan dia yang sebenernya?
“Bagaimana bisa orang tak punya mimpi macam kau
berkata seperti itu padaku?” semburku. Dia hanya tersenyum mendengarnya.
Padahal aku pikir dia bakal marah, atau berteriak, dan segala ekspresi tak
terima lainnya.
“Siapa bilang? Yang tahu aku punya mimpi atau tidak
ya cuma aku. Ngapain kamu membombardirku dengan cara yang seperti itu?”
Aku terbelalak. Seseorang ini makin ajaib saja. Aku
tidak tahu persis mengapa jika dia masih punya mimpi dia malah menyia-nyiakan
waktunya untuk bergabung dengan club malam yang jelas-jelas negatif. Tapi satu
hal, aku terpana dengan kalimatnya barusan.
Aku, dia, dan orang-orang ibarat pistol air
anak-anak lima tahunan itu. Hanya saja terkadang, kita selalu tidak tahu
bagaimana cara memompanya, atau seberapa lama kita harus memompanya untuk
benar-benar berhasil.
Aku menatap langit sambil tersenyum penuh harap.
Teruslah memompa potensimu Shaf!
***
Kuuki ( Air ) Chapter 4 [END]
By : Zahara Nisa F
Kuuki
( Air ) Chapter 4 [END]
Oleh : Zahara Nisa Fadila
“Rey
akan bahagia jika kau bahagia”
***
Aku memelototi ponsel. Ada lebih dari seratus
panggilan tak terjawab dari Jen. Aku tahu ini bukan tanda khawatir, ini lebih
pada tanda merasa bersalah. Iya kan?
“Anne Jen diluar menunggumu.” teriak Ibu dari sudut
dapur. Aku mendengus. Kenapa Jen muncul terus menerus?
“Bilang saja aku sudah tidur Bu. Aku sedang capek
sekali.”
“Ibu tidak pernah mengajarimu berbohong kan? Jadi
cepat temui Jen. Kalau tidak, ibu akan menarik kembali uang bulananmu.”
Begitulah Ibu, selalu mengancam
dengan hal-hal mengerikan setiap kali aku tak menuruti perintahnya. Akhirnya,
dengan tanpa semangat aku berjalan sekonyong-konyong menuju teras rumah. Tempat
dimana aku mungkin akan ambruk lagi untuk kedua kalinya.
“Hei bodoh. Kemana saja kau? Kau juga tak mengangkat
teleponku. Mau menghindar?” Jen menghampiriku. Ekspresinya saat menghampiriku
sungguh berbeda dengan ekspresinya saat menghampiri wanita itu. Itu jelas.
“Kamu pikir urusanku cuma tentangmu? Hoam. Aku
memang sedang malas ke sekolah.” Jawabku sembari berjalan kearah kursi teras.
Mungkin pembicaraan ini bakal jadi pembicaraan yang panjang dan berarti,
pikirku.
“Bohong. Anne yang ku kenal bukan Anne yang seperti
itu!”
“Hm baiklah, aku akan jujur. Tapi kau juga harus jujur
padaku, siapa yang bersamamu tadi pagi?”
“Oh. Kau melihatnya? Itu temanku waktu SMP.” Jen
terbata. Apa maksud keterbataannya? Gugup?
“Lantas pelukan apa tadi? Pelukan kerinduan? Mengapa
mukamu merah saat berbicara dengannya?”
“Aku pacaran dengannya sekarang.” ujarnya, menunduk.
Kan, dia bahkan menghindar kontak mata dariku. Sudah kuduga. Rasanya aku ingin
ambruk seperti yang kuperkirakan tadi. Tapi tiba-tiba saja aku tak bisa
melakukannya karena ada Jen di hadapanku. Sesungguhnya, Jen adalah kekuatan.
“Kamu sudah pacaran, tapi mengapa kamu masih datang
kemari? Menapa kamu masih mencari-cariku? Menapa kamu bahkan datang kerumahku
hanya untuk memastikan aku ada atau tidak. Dan mengapa.. mengapa saat di depan toko baju berenang, kau
memegang pipiku dengan muka merah? Mengapa?” aku berteriak dengan suara
memilukan. Kristal bening menganak sungai di pelupuk. Aku bangkit dan berbalik,
menyembunyikan tangis darinya.
“Gome ne. aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku akan
pergi.” diapun bangkit dari kursi dan berlalu. Menjauh.
“Aku menyukaimu Jen. Apa kamu sadar?” teriakku.
Jen sempat berhenti dan berbalik, sebentar. Namun
dia tak menjawab. Sama sekali.
Aku ambruk. Kali ini benar-benar ambruk.
“Ya Tuhan! Menyakitkan sekali.”
***
“Aku sudah di lokasi. Kamu kapan datang?” bunyi
pesan Hikari. Aku segera bergegas menuju garasi dan mengayuh sepeda secepat
yang kubisa.
Sepuluh menit selang, aku sudah sampai di kolam
renang kota dan mencari-cari Hikari. Dia duduk di dekat loker dengan wajah
flat. Persis seperti Rey. Aku berlari menuju Hikari.
“Ohayou. Maaf membuatmu menunggu.” ujarku ngos-ngosan.
Membuat Hikari menjadi terpingkal menyaksikanya. Tawa yang sama dengan Rey. Aku
jadi merindukan Rey.
“Tak apa Anne. Ayo kita mulai saja. Kau, ganti
bajumu ya.”
Aku mengangguk dan segera mengganti baju. Kami mulai
latihan di kolam renang satu meter. Seperti yang kupinta. Aku tidak siap jika
harus langsung berlatih di kolam renang dua meteran.
“Oke. Menyelammu sudah bagus Anne. Kau tinggal mulai
berenang. Aku yakin kau akan cepat bisa karena traumamu sudah mulai menipis.
Ganbatte yo” Hikari meninggalkanku sendirian untuk berlatih.
Cukup mudah bagiku untuk meluncur dan mulai berenang
di kolam renang dalam. Mengapa latihan kali ini terasa begitu lancar? Jauh
berbeda dari latihanku sebelumnya dengan Jen. Mungkin, sugesti juga berpengaruh
ketika seseorang sedang berjuang.
Kalo kita percaya kita bisa, maka kita akan bisa.
Sekarang, aku mengerti itu. Selama ini aku tak bisa karena aku terlalu memanjakan
diriku dan tak mau mengambil resiko. Untuk menjadi bisa kita memang harus
berani mengambil resiko. Seperti saat berenang, kita harus berani tenggelam dan
rela menelan banyak air untuk benar-benar menjadi bisa.
“Yosh!” aku tersenyum pada Hikari. Hikari telah
membuatku kembali menemukan Anne yang seperti tiga tahun lalu. Aku telah
terlahir kembali. Anne tiga tahun lalu, itulah aku yang sekarang.
“Tidak sulit yah mengajarimu.” ucap Hikari. Sangat
berbalik dengan ucapan Jen setelah mengajariku beberapa hari lalu. Jen perlu
belajar pada Hikari bahwa saat kita hendak membuat orang mengerti, kita perlu
bersabar dan bersabar. Kita tidak perlu mengekangnya.
“Terimakasih Hikari. Aku senang bisa belajar renang
denganmu.”
“Aku juga. Semangat untuk ujian akhirmu.”
Kami sama-sama tersenyum. Mentari semakin terik
diatas kepala.
***
Ujian Akhir.
Suasana
di dekat loker murid sangat bising. Hari ini adalah ujian akhir materi
olahraga. Oke, setelah selesai melakukan cabang olahraga lain yang diujikan,
kali ini aku akan siap dengan cabang olahraga yang terakhir. Renang.
Meski ini
adalah kali pertamanya aku mengikuti jam renang, namun aku cukup yakin bisa
melampauinya berkat latihan kemarin dengan Hikari. Aku juga ingin membuktikan
pada Jen bahwa aku tak semanja yang dia pikir.
“Wah Anne-san. Kau ikut jam renang?” tanya Shinju,
teman sekelasku.
“Tadinya aku juga ragu-ragu, tapi setelah aku
pikir-pikir lagi, ini kan ujian akhir. Masa aku tidak ikut dan menyerah begitu
saja?”
“Haha, aku tahu kau itu kuat Anne-san. Mari berjuang!”
Aku berjalan beriringan dengan Shinju menuju kolam
renang sekolah. Di sana, semua anak tingkat tiga sudah berbaris rapi, siap
mengikuti penilaian. Aku juga melihat Jen. Dia menatap dan sedikit tersenyum, Namun
aku segera membuang muka.
Aku berdiri di seberang kolam, menunggu namaku
dipanggil sensei. Masih ada tiga puluh orang lagi di depanku. Cukup lama, dan
hal itu jelas membuatku berdebar-debar.
“Miharu Anne.” barisan tigapuluh orang sudah
berakhir dan sensei memanggil namaku. Aku tersentak. Dengan tangan yang
bergetar dan bibir yang terkatup aku melangkah menuju tempat untuk meluncur.
Dadaku berdentum keras, membuatku menjadi sedikit ragu. Namun karena semua mata
menatapku tak sabar, aku nekat meloncat dan mulai berenang.
Sesaat, kolam renang sekolah kabur dimataku, berubah
menjadi suasana laut yang kukunjungi bersama Rey sebelum kematian Rey tiga
tahun lalu. Aku terbelalak. Ya Tuhan, apa ini? Di hadapanku, aku melihat Rey,
atau Hikari, atau Rey, aku tak bisa mengenali apa itu Hikari atau Rey. Tapi, suasana
laut yang mencekam membuatku bergidik dan merasa takut.
“Anne. Aku bahagia kau sudah kembali. Aku bahagia
kau menjadi sekuat itu. Ingatlah, aku akan terus menyayangimu. Dan aku akan
bahagia selagi kau bahagia.” ucap sosok itu yang membuat aku seketika yakin
bahwa itu adalah Rey, jelmaan Rey, dan bukan Hikari.
Aku mengangguk dan terseyum, membuat suasana laut
itu kembali menjadi suasana kolam renang sekolah. Aku segera menuju tepi untuk
mengakhiri penilaianku. Saat aku beranjak dari kolam, semua mata menatapku
lagi. Tatapan-tatapan tak percaya.
“Anne-san. Kau hebat sekali. Aku kira kau tak pernah
bisa berenang.” ucap Shinju dengan mata berbinar-binar. Aku terbahak.
Di sudut ruangan, di dekat loker murid aku
menyaksikan Jen tengah menatapku. Aku menghampirinya.
Kami berhadapan dan saling terdiam. Tak tahu harus
memulai darimana. Semenjak pertengkaranku dengannya malam itu, aku memang tak
pernah lagi berbicara padanya.
“Anne.” Panggil Jen. Aku mendongak, menyaksikan
mukanya memerah. Sial.
“Ketika kita menyukai seseorang yang baru, bukan
berarti kita melupakan dan menghapus yang lama. Karena biar bagaimanapun, yang
lama lah yang lebih dulu membuat kita merasa bahagia.” lanjut Jen. Aku sudah
tahu pembicaraan ini akan mengarah kemana.
“Tapi saat kita terluka karena seseorang yang lama,
seseorang yang barulah yang paling berperan dalam proses pengembalian kita
menjadi lebih baik. Aku memang tidak bisa melupakan cinta pertamaku, tapi aku
jauh tak bisa lagi melupakanmu Anne. Karena kamulah yang membuat aku bangkit
setelah aku terjatuh dari cinta pertamaku.” Jen memegang pundakku. Menbuatku
terisak atas semua pengucapannya barusan.
“Aku mengerti Jen. Akupun merasa seperti itu. Aku
masih menyukai Rey, tapi aku juga menyukaimu.”
Mungkin kami memang sama. Kami sama-sama jatuh
setelah cinta pertama. Tapi tanpa kami sadari, kami juga saling membantu untuk
bangkit dan menemukan cinta yang lebih baru, yang lebih baik. Cinta pertama
memang takan terlupa tapi dia bisa tergantikan dengan sosok yang lebih baik.
Dan untuk sementara waktu, aku membiarkan jemari
kami saling terpaut, kami menangis bersama. Aku masih mengingat Rey, dan Jen
juga masih belum pergi dari cinta pertamanya.
“Aku sudah putus dengan dia semalam. Itu membuat dia
terpukul, tapi ini lebih baik. Jadi mau kah kau jadi pacarku Anne?”
Aku mengangguk.
Masih banyak cinta di dunia ini. Kita tak boleh
terus menerus terpaku hanya karena kita masih teringat seseorang yang sama.
Bangkit dan carilah cinta yang lebih baik. Perhatikan sekitarmu dan mulai
mengertilah dengan orang lain yang mencintaimu. Karena meski kita tak bisa
pergi dari cinta pertama, tapi kita juga tak bisa kembali terhadapnya.
Cinta itu siklus. Dan dia akan berkembang terus
menerus. Lahir, hidup, lalu mati.
=END=
Kuuki ( Air ) Chapter 3
By : Zahara Nisa F
Kuuki
( Air ) Chapter 3
Oleh : Zahara Nisa Fadila
“Payah sekali sih! Ini kan kolam renang satu meter.
Tinggimu berapa? Kau tidak malu dengan anak-anak SD itu?” rutuk Jen sambil
terus berdecak kecewa.
“Iya aku tahu. Aku kan perlu waktu Jen.
Mengertilah.” aku mengejar Jen dengan kedua tangan membekap hidung. Banyak
sekali air yang masuk ke tubuhku, dan Jen malah memarahiku dalam keadaan buruk
seperti ini?
“Lama-lama aku malas denganmu. Kau itu sebenarnya
bisa, hanya saja terlalu manja dan tak mau sedikit berjuang. Kalo kayak gini
terus, aku menyerah denganmu!”
Jen berjalan menjauh. Apa ini? Dia marah padaku?
Seharusnya aku yang marah karena dia terus mengekangku untuk bisa. Jen sudah
berubah menjadi menjijikan. Menyebalkan.
“Aku benci pada sisimu yang seperti ini Jen!”
teriakku lantang. Namun Jen tak menggubris.
“Menyebalkan!” geramku lirih sambil menyaksikan
tubuh tegapnya menjauh.
Mimpi apa aku semalam?
***
“Anne. Jen belum datang sedari tadi. Ada apa dengan
kalian berdua?” tanya ibu sambil menyodorkan segelas susu cokelat kepadaku.
“Tidak kok. Dia bilang dia ada urusan dan harus
datang lebih pagi. Aku hanya tidak mau menganggunya.”
Setelah dusta besarku pada ibu, aku pamit berangkat
dan segera menuju garansi untuk mengambil sepeda. Kalo biasanya aku membonceng,
hari ini aku terpaksa harus berangkat sendiri. Si menyebalkan itu ternyata
benar-benar marah.
Ketika aku sampai di dekat penyeberangan, aku merasa
seseorang mengikutiku dari belakang. Huft sebenarnya bukan hari ini saja.
Akhir-akhir ini aku merasa seperti itu terus menerus. Aku tak tahu apakah ini
hanya semacam fatamorgana atau tidak. Tapi yang jelas, ‘diikuti’ adalah hal
yang misterius. Bagaimana jika ternyata yang sedang menguntitku adalah penjahat?
Bagaimana jika aku menjadi sasaran pembunuhan atau semacamnya? Oh Tuhan.
Aku tersentak. Bukan karena aku tahu siapa yang
mengikutiku. Tapi lebih karena di depan, tak jauh dari tempatku aku melihat Jen
sedang berjalan dengan seorang wanita. Aku tidak mengenalnya, tapi dia terlihat
cantik dimataku, mungkin juga dimata Jen. Ya Tuhan? Desiran apa ini. Aku merasa
tak rela Jen dekat-dekat dengan wanita lain.
Dari pembicaraan yang kudengar. Mereka terlihat
begitu akrab, begitu saling mengenal satu sama lain.
“Sudah lama sejak kelulusan SMP kita bisa berbicara
berdua seperti ini.” ucap wanita itu. Nada suaranya terdengar begitu lembut.
Seolah-olah diantara mereka memang ada hubungan khusus.
“Begitulah. Aku terlalu lemah setelah penolakan
cintamu.” jawab Jen. Penolakan cinta? Jadi..
“Dengar Jen. Aku bukan menolak. Aku hanya perlu
waktu. Kau tidak pernah mengerti!”
“Butuh waktu? Dan tiga tahun selama ini masih belum
cukup?” Jen mempercepat jalannya. Namun wanita itu tak tinggal diam. Dia
berlari mengejar Jen layaknya seorang balita yang menuntut suatu hal pada
ibunya. Muka mereka sama merah. Tangan mereka sama bergetar. Dan hati mereka
mungkin juga sama. Masih saling terpaut. Bagaimana ini? Kukira Jen menyukaiku.
Ternyata dia masih terkurung pada masa lalunya. Kita memang tidak pernah bisa
menebak bagaimana perasaan seseorang.
“Sekarang aku siap Jen. Tiga tahun aku belajar
segalanya, dan sekarang aku siap.” teriak si wanita itu dengan suara memilukan.
Sontak, Jen terhenti dan berbalik. Mata mereka saling bertemu diantara bias
mentari pagi.
“Aku tau. Terimakasih telah mengatakannya padaku.”
Jen merobohkan sepedanya dan bergegas memeluk si wanita.
Menyadarinya membuatku secara refleks terisak. Entah
mengapa, aku tak bisa memperkuat pertahananku dan akhirnya ambruk begitu saja
di lorong sempit antara dua toko. Mengapa aku harus menyaksikannya secara
langsung?
***
“Ting tong” dering ponsel menyadarkanku. Entah sudah
seberapa lama aku terpaku di sini dengan mata sebam. Aku tak pergi sekolah, tak
juga berniat pulang ke rumah. Biar saja aku di sini, mati kelaparan, dan lenyap
begitu saja dari kehidupan tanpa ada orang yang tahu. Aku tak peduli berapa
kali lagi Jen mencoba menghubungiku. Toh dia yang sudah membuatku seperti ini,
sudah memakiku saat di kolam renang, lantas membunuhku dengan acara pelukannya
tadi pagi. Memang, aku tak berhak marah padanya karena aku sendiri cukup sadar
bahwa aku bukan siapa-siapa. Tapi tetap saja, ini merumitkan.
“Akulah wanita paling sedih di dunia..” rutukku.
Kutendang-tendangkan kakikku kearah depan, terus menerus. Sampai saat aku sadar
bahwa ternyata, ada seseorang tengah berdiri di hadapanku.
Aku menatapnya. Nanar. Setengah percaya dan setengah
tidak.
“Rey. Kau..” tadinya aku pikir ini hanya halusinasi,
atau ini hanyalah hantu Rey yang mencoba menghiburku karena keterpukulan
barusan. Namun sesaat saja sosok itu memegang tanganku. Terasa nyata.
“Maaf kemarin menabrakmu.” dia tersenyum. Senyum
yang teramat manis namun asing di mataku. Aku paham, itu bukan senyum Rey. Itu
juga bukan tatapan Rey. Lantas siapa yang saat ini tengah berada di hadapanku?
“Aku memang bukan Rey, tapi aku berharap
kedatanganku di hadapanmu ini bisa membuatmu merasa lebih baik. Kalo kamu
seperti ini terus menerus, Rey di sana pasti akan merasa sedih. Jadi, pulang
dan kembalilah seperti semula.” ujar lelaki itu mengelus rambutku.
Aku terdiam sesaat. Sebelum akhirnya memberanikan
diri untuk bertanya, “Kau? Siapa? Kalau bukan Rey lantas siapa?” tanyaku dengan
bibir bergetar.
“Hikari. Kembaran dari Rey. Mungkin dia merahasiakan
ini darimu. Tapi saat dia pergi aku adalah orang yang paling terpukul selain
kau dan juga keluargaku. Aku mati-matian mencari alamatmu hanya untuk
mengatakan bahwa Rey tidak pernah tega melihatmu menangis. Jadi apapun yang
terjadi, aku mohon jadilah ceria seperti Anne yang semula. Aku banyak tahu kau
dari Rey, kau anak yang ceria bukan?” dia melepas tangannya dan mulai duduk di
sampingku. Meski terlihat asing, namun secara keseluruhan Hikari memang mirip
dengan Rey. 98%
Aku mengangguk. Sebenarnya cukup berat bagiku untuk
kembali mendengar nama Rey.
“Hikari. Jika aku menyukai laki-laki lain, apa Rey
akan marah?” aku menatap matanya. Seolah-olah aku sedang meminta izin pada Rey
secara langsung.
“Rey tidak akan marah. Justru dia akan senang jika
itu membuatmu lebih bahagia. Oh iya, mengenai traumamu pada air kau harus
segera mengakhirinya. Aku minta maaf karena akhir-akhir ini sering
mengikutimu.” ujarnya sembari menyeringai. Jadi ternyata ia yang mengikutiku.
Syukurlah aku batal menjadi buronan para penjahat. Aku selamat.
“Aku juga berfikir seperti itu. Hanya saja Jen tak
bersedia lagi mengajariku. Jadi aku bingung harus bagaiman.”
“Kalo begitu, aku bersedia untuk mengajarimu.
Buktikan pada Jen bahwa kamu bisa. Ganbatte yo!”
Dia tersenyum. Membuat kesedihanku seketika saja
meluruh.
“Terimakasih Hikari. Aku akan menunggumu di kolam
renang kota pukul sepuluh hari minggu. Mohon bimbingannya.”
Dia mengangguk penuh yakin.
Dia bukan Rey. Dia Hikari. Dan kehadirannya cukup
membuatku lebih tenang. Mungkin, aku tidak bisa sepenuhnya mendapatkan hati
Jen, tapi aku akan terus menyukainya selagi aku bisa. Seperti yang Hikari
bilang, “Rey akan bahagia jika aku bahagia.”
=NEXT
CHAPT 4=