- Back to Home »
- Kuuki ( Air ) Chapter 2
Posted by : Zahara Nisa F
Sabtu, 07 Maret 2015
Kuuki (Air) Chapter 2
Oleh
: Zahara Nisa Fadila
“Ayolah Anne.
Lahirlah kembali. Aku ingin berjumpa dengan Anne yang seperti tiga tahun lalu.”
***
“Ohayou!”
seseorang merangket pundakku. Jen. Aku hanya tersenyum simpul sambil terus menatap matanya yang berkilat. Ingin
rasanya aku berbalik lantas memeluknya erat-erat, tapi aku tak seagresif itu.
“Kau
sudah mengumpulkan keberanian?” tanya Jen segera melepas rangketannya.
“Rasanya
belum. Bangkit setelah sudah jatuh itu lebih susah ketimbang start dari awal.
Mungkin perlu waktu.”
Dia
manggut-manggut. Syukurlah jika dia mengerti. Semua hal memang butuh proses,
dan semua proses jelas butuh waktu. Mungkin itulah mengapa aku masih belum
merasakan getar hati meski aku sudah memvonis diriku sendiri mencintai Jen.
“Hei
kau selalu melamun akhir-akhir ini. Diam-diam aku mulai khawatir Anne. Apa kamu
punya masalah?”
“Tidak
Jen. Kau tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja.” kutepuk pundaknya pelan,
memastikan dia untuk percaya bahwa aku baik-baik saja.
Sesudah
itu, kami berjalan berdampingan menuju gerbang sekolah dan berpisah di
persimpangan menuju kelas masing-masing.
***
Soal
perkenalanku dengan Jen tiga tahun lalu sebenarnya cukup sederhana. Rumahku dan
rumah Jen hanya berjarak sekitar 30 meter dan kami saling kenal karena kucing.
Jadi,
dulu saat aku baru tiba di perumahan yang sekarang, aku membawa kucingku
berkeliling kompleks. Tapi tiba-tiba saja kucingku lepas dari tali pengait dan
berlari brutal menjauhiku. Aku panik dan susah payah mengejarnya. Dia
menghilang dibalik semak-semak di depan sebuah rumah khas Jepang yang amat
asri.
“Pencuri!”
teriak pemilik rumah ketika mendapatiku masuk pintu gerbang tanpa permisi.
Sontak aku segera menunduk, “Maaf. Aku cuma mau ngambil kucing. Kucingku
menghilang di balik semak-semak itu.” jawabku dengan bibir mengatup karena
gugup.
Mendengar
pengakuanku, seorang lelaki yang saat ini kukenal dengan nama Jen itu tertawa
lengking. Dia mendekatnya mulutnya kearah telingaku dan mulai berbisik.
“Kucingmu
mulai naksir kucingku sejak kalian pertama datang. Jadi mending biarkan saja
lah. Jangan ganggu mereka.”
Sejak
saat itu, kami mulai akrab selayaknya seorang tetangga. Apalagi saat menyadari
Jen satu sekolah denganku. Dari situlah persahabatan kami mulai terukir indah
seperti relief-relief candi. Dan dari situ juga aku mulai merasa bahwa Jen
adalah jelmaan sosok Rey yang telah terhanyut bersama arus laut musim panas.
***
“Yang
ini lebih bagus. Mungkin cocok denganmu.” ujar Jen sambil tersenyum. Aku
mengiyakan dan segera menuju pusat pembayaran.
Jen
terus memaksaku untuk segera latihan. Maka dari itu aku tak bisa menolak saat
ia menyuruhku cepat-cepat membeli kostum berenang. Katanya, lebih cepat lebih
baik.
Saat
aku berjalan menuju pusat pembayaran, seseorang menyerobotku dari belakang.
“Brukg”
aku tersungkur dengan wajah menahan rasa sakit. Kurang ajar.
“Anne.
Kamu tak apa?”
Aku
segera bangkit dan tersenyum pada Jen. Khawatiran sekali dia. Sejujurnya aku
senang mendapat perhatian semewah ini, tapi rasanya tetap saja hambar. Seperti
air laut yang kehilangan garam-garamnya.
“Dia
tidak minta maaf? Tak sopan sekali.”
“Sudahlah,
mungkin dia tidak sengaja, atau sedang terburu-buru.” ujarku sambil menatap
punggung si lelaki itu yang kian menyempil. Ada sebagian dari diriku yang
merasa janggal dengan potret misteriusnya. Siapa dia? Kenapa dia menabraku dan
tak meminta maaf? Kenapa rasanya.. aku pernah melihatnya sebelum hari ini.
Berpuluh pertanyaan menyesak di pikiranku sebelum akhirnya Jen yang membuyarkan
dan mengajakku kembali ke rumah. Mungkin dia teman SD atau kenalan sewaktu aku
belum pindah. Pikirku.
***
Aku
berjalan selangkah di depan Jen. Rasanya ada yang mengganjal dadaku sehingga ia
berdetak terus menerus dan lebih kencang. Mungkin memang baru kali ini semenjak
tiga tahun lalu.
“Anne.
Lihat mataku.” ia berpaling dan menatapku. Mempersempit jarak diantara kita. Ya
Tuhan, mungkin dia bisa merasakan kegugupanku. Entahlah.
“Kau
memerah Anne.”
“Apa
maksudnya itu?” lanjutnya. Membuatku semakin tersentak. Apalagi saat ia
menyentuh pipiku. Aku harus menjawab apa?
“Aku
bahagia Anne jika ini bertanda bahwa kau menyukaiku. Tapi kalau bukan, nggak
apa-apa sih. Aku suka wajahmu saat memerah seperti ini.”
Aku
menunduk. Malu. Bingung. Ingin rasanya aku berlari menjauh dan tak pernah
menemui Jen lagi. Aku takut, takut begitu seseorang mengungkapkan perasaannya
padaku dia lantas menghilang dariku selamanya. Seperti Rey waktu itu. Aku tidak
mau.
“Ah
sudahlah, aku terlalu lancang. Lagian aku tahu kamu masih mencintai Rey. Mari
kita pulang.” dia menarik tanganku, membuat kami berjalan berdampingan menuju
kompleks perumahan. Untuk sementara waktu, aku tak melapas tangannya. Biar.
Biarkan saja.
Aku
sadar, bukan hari ini. Aku belum siap, begitupun dengan Jen. Jadi biarlah untuk
saat ini hanya senja yang mendengar pembicaraan kita. Hanya senja yang menjadi
saksi bisu memerahnya pipiku.
Aku
berjalan berdampingan dengan genggaman tangan yang masih menyatu. Dibawah
oranye sinar sunset, aku merasa diriku telah lahir kembali[].
=NEXT CHAPT 3=