Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Minggu, 01 Maret 2015



Kuuki ( Air ) Chapter 1
Oleh : Zahara Nisa Fadila
“Anne, come on!” suara Jen memekik telingaku. Ini gawat.
“Ayolah Anne. Kau selalu menolak setiap kuajak berenang. Kumohon sekali ini saja.”
Aku menunduk. Iyakah harus sekarang?
***
3 years ago.
Aku pecinta air, atau semua yang berhubungan dengannya. Termasuk yang di hadapanku ini.
“Anne. Bersediakah kau menyelam bersamaku? Aku akan segera menyewa perlengkapannya.” ajak Rey menggebu-gebu. Dia tak pernah berubah semenjak setahun lalu, saat kami mulai saling mengenal. Sebenarnya, aku menyukainya secara diam-diam. Tapi sayang, dia tak pernah menyadari.
“Oke aku mau. Just for us? Cuma berdua saja ya?” balasku. Dia hanya tersenyum dan segera menuju balai penyewaan.
Sepuluh menit selang, dia sudah kembali dengan pakaian menyelam dan menyuruhku segera mengganti pakaian. Memang, ini baru pertama kali kami menyelam tanpa seorang pendamping. Tapi kurasa ini tak akan jadi masalah, mengingat kami sudah seringkali berlatih.
“Aku sudah siap senpai.” teriakku. Rey melambai dan dengan sigap menarikku kearah tepi laut. Kami benar-benar menyelam.
“Anne, lau saat sore begitu indah ya.” dia menggenggam tanganku dan terus menelusuri betapa indah terumbu karang. Sejujurnya, ada perasaan bergetar di sekujur sukma. Tapi, aku sebisa mungkin mengabaikan, takut terlihat terlalu mencintai.
“Anne tunggu. Ada yang ingin aku katakan.” ucapnya ketika tiba-tiba ia berhenti berenang.
“Uhm. Baiklah. Mari menepi kearah pantai senpai.”
“Tidak perlu Anne. Akan lebih mengesankan jika aku mengatakannya di sini. Lihat laut begitu menawan! Aku tak mau melewatkan kesempatan seapik ini.”
“Hyaa! Tapi senpai.. aku takut ada ombak besar dan membawa kita terhanyut. Lebih baik kita me…”
Dia memelukku saat aku belum sempat menuntaskan kalimat. Dan pelukannya terasa begitu hangat, meski kami terembas di dalam air. Sontak, aku tak bisa berkata-kata lagi.
“Aku tidak peduli, asal aku bisa mengatakannya aku rela mengorbankan apapun. Aku mencintaimu Anne. Sungguh, bahkan sejak pertama aku mengenalmu.”
Aku serasa mati dan betul-betul tak mampu mengartikan ini. Ya Tuhan, jadi dia menyukaiku? Dan dia ingin mengungkapkannya di atas dunianya yang sesungguhnya? Diatas laut?
“Iya senpai. Aku juga menyukaimu. Aku bahkan sangat-sangat menyukaimu.” balasku sebelum dia menarik kembali kalimat-kalimatnya.
Sepertinya dia tersenyum, meski aku tak betul-betul melihat wajahnya.
“Tunggu, tidakkah kau mendengar suara gemuruh Anne-chan?”
Namun sebelum aku betul-betul mendengar, ombak telah menghempas kami. Dia melepas pelukannya. Dan setelah itu aku tak mengingat apapun kecuali seutas kalimat darinya, “Sayonara.” dan mungkin itulah kalimat terakhir. Aku terbangun empat hari setelah kecelakaan naas itu dan mendapati diriku berbaring di rumah sakit. Aku selamat, tapi dia meninggal.
Aku meminta pindah sebulan setelah keterpukulanku, dan mulai saat itu, aku membenci air.
***
“Jadi itu alasanmu mengapa selalu menolak ketika kuajak berenang?” Jen menepuk pundakku yang mulai berguncang karena isak tangis.
Aku mengangguk nyeri. Kenangan itu masih tergambar jelas meski seringkali aku mencoba melupakannya.
“Oke sekarang aku tahu kenapa kamu selalu menolak sinis setiap kuajak berenang. Aku tahu kengapa kamu tak pernah mau mandi dalam kamar mandi yang berbak. Aku tahu kenapa kamu tak pernah datang setiap jam renang. Aku tahu kenapa kamu bahkan tak pernah mau berlibur ke pantai. Sekarang aku tahu Anne. Maafkan aku yang membuatku kembali teringat. Aku benar-benar minta maaf.”
Aku mengiyakan. Ini memang bukan salah Jen. Tanpa Jen mengingatkanpun, kenangan ini bakal terus menghantui. Seperti kulit yang selalu menyertai kacang. Ketakutan ini tidak akan berakhir sampai kapanpun. Tapi saat melihat Jen, aku merasa kembali menemukan sosok Rey. Mungkin aku menyukainya, namun jika cinta hanya tinggal puing-puing yang merapuh aku ragu bisa menyatukannya kembali. Pada kenyataannya Rey tetaplah yang paling kucintai. Saat Jen mulai mengambil alih sekalipun.
“Anne. Kau sudah lebih baik?” Jen membuyarkan lamunanku. Ya ampun, apa yang baru kupikirkan tadi? Benar-benar naas.
“Sudah kok Jen, sudah. Kau tak usah tegang seperti itu!” aku tersenyum. Jen benar-benar mirip dengan Rey. Dari tatapannya, dari ekspresi khawatirnya. Apa mungkin dia jelmaan Rey? Akhmpht, berpikir apa aku ini.
“Tapi maaf Anne. Apa kamu bakal seperti ini terus?”
“Umm maksudku, sebentar lagi pekan ujian kelulusan. Apa kamu tetap akan menghindar dari jam renang? Aku khawatir akan nilai-nilaimu.” Lanjutnya.
Benar. Aku bahkan belum berfikir sejauh itu. Soal renang, aku mungkin masih ingat teknik-tekniknya. Aku hanya tak bisa mengumpulkan sedikit kekuatan untuk bangun dari trauma itu.
“Aku bersedia mengajarimu. Ya, itupun jika kau mau.” tawarnya, kemudian dia segera beranjak malu-malu. Seperti menyesal telah mengatakan kalimat demikian. Namun, aku cepat-cepat menahan dia supaya tak pergi.
Dengan guncangan dahsyat aku akhirnya susah payah mengiyakan, “Aku akan berlatih. Mohon bimbingannya Jen” kataku disusul dengan senyum canggung yang kutahan, yang jatuhnya malah seperti orang yang memamerkan gigi.
“Aku tahu kau pasti mau berlatih.” dia sumringah mendengar perkataanku.
“Ayolah Anne. Lahirlah kembali. Aku ingin berjumpa dengan Anne yang seperti tiga tahun lalu.” Ujarnya lantas menghampiri aku yang mulai meranum karena canggung.
Dia mengenngam tanganku.
“Aku akan menemuimu kapanpun kamu panggil. Jika perlu, anggaplah aku seperti Rey. Dengan begitu, kau pasti akan lebih baik. Ganbatte yo!”
Aku mengangguk.
Dia berbalik dan berjalan menjauh. Meninggalkan bayangan yang tak mudah terhapuskan hanya dengan satu-dua kali kedip mata.
Hari ini, sore ini, aku bertekad kembali menemukan jiwaku yang sesungguhnya. Mungkin, Rey tak bisa lagi bangun dari tidur panjangnya. Tapi dia akan bahagia jika aku mau bangkit.
Dan Jen, aku berharap banyak padamu.
=NEXT CHAPT 2=

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -