- Back to Home »
- Pistol-pistol Air (Oneshoot)
Posted by : Zahara Nisa F
Sabtu, 28 Maret 2015
Title :
Pistol-pistol Air
Penulis :
Zahara Nisa Fadila
Genre :
Friendship Romance
Oneshoot. Happy reading^^
Pistol-pistol
Air
Oleh : Zahara Nisa Fadila
***
Aku mengarahkan raketku kedepan, membabat habis
bola-bola berian lawan. Ah sebenarnya ini bukan pertandingan resmi, hanya saja
aku sedikit lebih serius mengingat lawanku sendiri adalah Akbar. Aku tak mau
terlihat lemah di hadapannya. Sungguh.
Akbar setahun lalu adalah dominasi dari kehidupanku.
Mimpi, realita, semua selalu tentangnya. Namun saat ini, dia bukan lagi Akbar
yang kukenal dulu. Sekarang, dia betul-betul berantakan. Sudah tak pernah lagi
ke masjid, mengaji, pun sholat lima waktu. Akbar sekarang adalah Akbar tanpa
cahaya, tanpa bayang bayang impian. Andai saja Akbar mengerti, aku mengharap
dia yang dahulu.
***
Soal kedekatanku dengan Akbar setahun lalu. Uhm aku
harus mengingatnya lagi ya? Ah sudahlah. Jadi sebenarnya begini…
(1 tahun lalu)
“Mbak Shaf coba lihat siapa yang datang.” teriak
Mela, sepupuku. Matanya berkila-kilat penuh cahaya, begitulah ia ketika
tertimpa kesenangan. Full ekspresi.
“Memangnya siapa? Mengapa kamu begitu semangatnya
Mel?”
Mela hanya tersipu. Kuhampiri jendela tua di pojok
kamar. Sesosok lelaki tegap terlihat tak jauh dari rumahku. Akbar. Sudah pasti
dia pulang, dia dan keluarganya memang selalu merayakan lebaran di sini.
“Oh Akbar. Oalah, Mbak Shaf nyampe lupa kalo kamu
pernah suka sama dia. Jadi itu ya mengapa kamu semperin Mbak Shaf dengan
sesemangat itu?”
Mela mengangguk. Ada sebagian dari diriku yang
terenyuh ketika melihatnya. Pasalnya, aku juga telah menyukai Akbar, jauh hari
sebelum Mela. Aku tak pernah mengerti bagaimana harus mengungkapkan pengakuan
ini pada Mela. Aku terlalu khawatir akan menyakiti perasaannya. Terlebih ketika
aku mengingat janji besarku dengan Mela, “Kita tidak boleh menyukai lelaki yang
sama Mbak Shaf” katanya tempo hari. Maka dari itu aku cuma bisa memendam. Jika
Akbar jodohku, Allah akan menghalalkannya kelak. Jika tidak, aku ikhlas dia
bersama Mela. Ya, perasaan cinta yang sesungguhnya terkadang memang hanya
sesimpel itu.
“Yasudah Mbak Shaf, kita samperin aja yuk. Uhm aku
sudah cantik kan?” Mela merapikan rambutnya di depan cermin kamarku. Cantiknya
dia, ya berbanding terbalik lah dengan aku.
“Mela cantik kok. Tidak usah khawatir. Akbar pasti
suka.”
Mendengar pujianku, Mela lantas melesat mengahampiri
Akbar. Aku hanya tersenyum sambil menahan luka. Luka terdalam. Dan dengan
langkah yang dikuat-kuatkan aku mencoba menyusul.
“Selamat malam Kak Akbar. Ingat aku kan?” ucap Mela
dengan suara yang diimut-imutkan. Itu wajar, umur Mela memang dua tahun lebih
muda dariku, dari Akbar.
“Hmm siapa ya?”
“Yah Kak Akbar. Padahal aku..”
Akbar mengusap kepala Mela. Seorang kakak pada
adiknya. Oh tidak, itu lebih seperti seorang lelaki pada kekasihnya. Ya Tuhan
aku bisa gila.
“Aku pasti ingat Mel. Memangnya aku sudah terlalu
tua dimatamu sampai-sampai kamu memfitnahku melupakan semua tentangmu. Tidak
bakalan.”
Mela tersenyum. Tampaklah wajah ranum dimatanya. Itu
semakin membuat hatiku merasa cenat-cenut kesakitan. Mengapa bukan aku yang
diperlakukan seperti itu?
“Kak masuk yuk. Kebetulan Mbah Ijah juga sedang
dirumah kami.” Mela berlari menjauh, mendahului.
Kini, sisalah kami berdua. Saling tatap, kemudia
berpaling. Tatap lagi, berpaling lagi.
“Shaf. Apa kabar?” tanya Akbar akhirnya. Mungkin
karena mulai lelah dengan permainan ‘tatap-paling’ seperti demikian. Dia
terlihat canggung. Mengapa?
“Baik. Seperti yang kamu lihat. Kamu juga pasti baik
kan?”
“Ya begitulah.”
Kami berjalan bersama menuju rumah. Langit Ramadhan
samar-samar diatas sana. Akankah beberapa waktu kedepan aku akan merasakan
sakit seperti itu secara terus menerus?.
--
Setelah menghadiri pengajian fajar, aku memutuskan
untuk menyiram bunga di taman. Rutinitas bulan Ramadhan memang selalu indah.
Sesaat, seseorang menepuk pundakku, tanpa kusadari.
“Shaf.” Akbar tersenyum. Aku membalasnya sedikit
sambil meneruskan pekerjaanku.
“Bunga di sini begitu asri ya Shaf. Benar-benar
rumah kedua yang indah.”
“Rumah kedua?” kuhentikan siramanku dan berbalik
menatapnya.
“Ya Tuhan aku lupa mengatakannya. Jadi untuk
kedepan, aku memang akan tinggal dan sekolah di sini.”
Aku tersentak. Tinggal? Sekolah? Berarti cukup lama?
Kesakitan apalagi yang hendak kuterima kedepan Ya Tuhan? Bagaiamana jika aku
tak kuat menampungnya? Berapa besar Mela akan semakin menyukai laki-laki ini?
“Oh syukurlah. Selamat datang dan selamat menetap.
Semoga bisa menjadi rumah yang layak.”
Akbar tertawa sambil membelai lembut bunga-bunga di
hadapan kami. Bunga yang menjadi saksi bisu betapa dadaku berdetup kencang
karena Akbar, senada dengan jarum jam. Selang beberapa saat, Mela muncul dan
menarikku pergi. Bibirnya bergetar. Cemburu.
“Jadi, apa yang sedang Kak Shaf lakukan berdua? Kita
tidak akan menyukai seseorang yang sama. Ingat?”
“Jangan khawatir. Pembicaraan yang tidak seperti
dugaanmu Mel.”
Aku melihat raut mukanya yang tegang berubah jadi
lega. Bagaimanapun, seseorang yang mengetahui bahwa prasangka buruknya ternyata
bukan merupakan sebuah kenyataan, dia pasti akan senang, lega.
Aku turut lega. Setidaknya, Mela tidak menyadari
degup jantung juga tangan gemetar yang kusembunyikan di balik saku rok.
--
Seminggu Akbar tinggal, kami mulai dekat. Tentu saja
tanpa sepengetahuan Mela. Aku benar-benar merasa menjadi seorang kakak yang
berkhianat pada adiknya. Namun meski begitu, aku juga tak bisa menahan perasaan
cintaku. Mungkin itulah mengapa orang menyebut cinta itu buta; cinta tidak
pernah peduli situasi dan kondisi, tidak juga pada sebab dan akibat.
Kami pergi bersama, ke taman, ke sawah, ke sungai,
kami selalu bersama. Sampai pada suatu malam. Malam takbiran itu..
“Shaf. Aku mau bicara.” Akbar berteriak hingga
suaranya menyatu dengan seruan takbir di setiap sudut desa. Aku berdebar. Takut
dia berkata yang tidak-tidak.
Aku mengangguk, sambil berusaha menghampirinya.
Hembus angin malam terasa mendayu, mengisi jarak diantara kami.
“Shaf. Bolehkah aku menjadikanmu sebagai wanita yang
paling kutunggu?”
Aku tersentak. Kutatap matanya yang bercayaha,
memantulkan bias sang rembulan. Dia tidak sedang berbohong.
“Haha. Mungkin terlalu cepat. Tapi kalau saja kamu
tahu, aku menyukaimu sudah sejak kita kecil dahulu Shaf.”
Aku menunduk, lama. Lalu segera mendongak. Saat aku
menatapnya, aku melihat Mela dibalik punggung Akbar. Segera saja jantungku
berpacu cepat. Antara bingung dan merasa bersalah.
“Mel!” teriakku, mengejarnya. Namun ia sudah
terlanjur lenyap dibalik pintu rumah yang semakin ramai. Aku tak mungkin
bertengkar dan berdebat dengannya dimalam sesuci malam takbir. Akhirnya aku
hanya menangisi kepergiannya. Berharap ia tidak membenciku karena masalah ini.
“Kamu tahu Bar? Mela itu suka sama kamu. Dia itu
cinta sekali. Dan gara-gara kamu bilang seperti itu padaku, dia jadi marah kan?
Aku benci kamu Bar!” teriakku sesenggukan, bertahan untuk tetap
membelakanginya, aku tak mau dia melihatku menagis. Aku juga tak mau Akbar
menyadari betapa sakitnya hatiku saat berteriak membencinya.
“Shaf, aku.. maafkan aku yang tidak pernah menyadari
itu. tapi kamu tahu cinta tak bisa dipaksa bukan?”
“Tinggalkan aku sendiri Bar. Sudah kubilang aku
membencimu!”
Akbar berjalan melewatiku. Dadanya berguncang.
Entahlah itu merupakan sebuah tangisan atau bukan. Yang jelas, sepanjang malam
itu aku hanya menetap di taman. Sampai ketika suara takbir mulai samar-samar,
aku kembali menuju kamar dan Mela tidak berada di sana. Dia marah padaku,
mungkin akan dalam jangka yang lama.
Semenjak saat itulah aku melihat Akbar mulai
berantakan setiap harinya. Terlebih ketika bapak ibunya bercerai. Dia tak
pernah berangkat sekolah dan hanya terus mengurung di kamar. Paling-paling kalo
keluar hanya untuk sekedar bergabung dengan club malam, mabuk-mabukan sampai
larut malam. Kadang tak pernah kembali dalam beberapa hari. Mbak Ijah seperti
sudah kewalahan mengurusnya. Aku merasa bersalah karena semua ini juga akibat
dari perbuatanku. Perasaankulah biang dari segala-galanya ini.
***
Aku masih dengan raketku, dengan Akbar, dengan Mela,
dan dengan Wisnu. Setahun berlalu, hubunganku dengan Mela sudah jauh lebih
baik. Hubunganku dengan Akbar juga mulai memulih, meskipun jelas tak bisa
kembali seperti dulu lagi. Apalagi setelah kehadiran Wisnu, sahabat baik kami
pindahan dari Bogor.
“Kring-kring” ponselku berbunyi. Aku member isyarat
pada mereka untuk menepi.
Kubaca pesan itu perlahan. Dari penerbit, yeah
bukuku gagal diterbitkan lagi. Aku menunduk lesu sambil menghampiri tempat
duduk di samping lapangan.
Tanpa kusadar, Akbar menghampiri dan duduk tak jauh
dari tempatku.
“Mengapa?”
Aku menyodorkan ponselku padanya, memperlihatkan pesan
dari penerbit soal kritik-kritikan atas karyaku.
“Coba lagi dong.”
“Tapi kamu sendiri tahu Bar. Aku sudah mencobanya
berpuluh-puluh kali, tapi tetep aja gini. Mungkin jalanku memang bukan di
sini.”
Hening.
Akbar tak menjawab apapun.
Tiba-tiba saat kami saling beria dalam keheningan,
seorang anak kecil menghampiri dengan muka masam.. Sepertinya dia anak si
empunya lapangan. Setiap kami kesini, kami memang selalu melihat dia, bermain
pistol-pistolan air bersama temannya.
“Bang pompain dong. Airnya ngga mau keluar.” rengek
anak lelaki lima tahunan itu. Uhm apa pula? Mengapa aku malah melihatinya?
Aku mengalihkan pandangan, menatap Mela yang sedang
serius dengan Wisnu. Dahulu, dia akan marah jika Akbar menghampiriku seperti
ini. Secara ajaib, aku malah terbahak sendiri.
“Shaf, seperti pistol-pistol air itu. untuk bisa
mengeluarkan muatan air diselang dalamnya, kita harus mompa dia dulu.” kata
Akbar tiba-tiba. Aku benar-benar tidak tahu apa maksud-piaksudnya
pembicaraannya.
“Kamu ngomong apa sih Bar?”
“Ya, kamu sama aja gitu. kalo kamu nggamau mompa
potensi kamu lewat usaha yang terus menerus, ya apapun bakat kamu yang
tersembunyi didalam situ ngga bakal keluar.’ sambungnya.
“Kamu kayak ngga tau aja. Aku udah puluhan kali
usaha Bar.”
“Semakin lama kita mompa, air dipistol itu bakal
semakin banyak keluar. Ya pikir ajalah Shaf.”
Aku termenung. Mengapa Akbar berbicara seperti itu?
Sepeduli inikah dia terhadap cita-cita? Apa dia tidak berpikir bahwa kalimatnya
barusan sangat menyimpang dengan dia yang sebenernya?
“Bagaimana bisa orang tak punya mimpi macam kau
berkata seperti itu padaku?” semburku. Dia hanya tersenyum mendengarnya.
Padahal aku pikir dia bakal marah, atau berteriak, dan segala ekspresi tak
terima lainnya.
“Siapa bilang? Yang tahu aku punya mimpi atau tidak
ya cuma aku. Ngapain kamu membombardirku dengan cara yang seperti itu?”
Aku terbelalak. Seseorang ini makin ajaib saja. Aku
tidak tahu persis mengapa jika dia masih punya mimpi dia malah menyia-nyiakan
waktunya untuk bergabung dengan club malam yang jelas-jelas negatif. Tapi satu
hal, aku terpana dengan kalimatnya barusan.
Aku, dia, dan orang-orang ibarat pistol air
anak-anak lima tahunan itu. Hanya saja terkadang, kita selalu tidak tahu
bagaimana cara memompanya, atau seberapa lama kita harus memompanya untuk
benar-benar berhasil.
Aku menatap langit sambil tersenyum penuh harap.
Teruslah memompa potensimu Shaf!
***