Popular Post

Posted by : Zahara Nisa F Rabu, 05 April 2017



Sepotong Brownies Selai Kacang Untuk Berdua
Zahara Nisa F
***
“Biar kau yang merasakan bagian manisnya, aku sudah terbiasa mengecap pahit.”
***
Satu hal yang paling kuingat dari Mei adalah, dia menyukai brownies selai kacang. Bersamaku, ia pergi dari satu toko kue ke toko lainnya, mencari brownies selai kacang dengan cita rasa paling nikmat. Hingga akhirnya, hatinya berlabuh pada sebuah toko kue tua bergaya Eropa di kawasan kuliner luar negeri, beberapa meter dari SMA kami.
Setiap pulang sekolah di hari saat tidak ada jadwal rapat atau jadwal ekstrakurikuller, dia akan mengajakku ke sana. Aku hampir terbiasa menatap rona wajah bahagianya saat menikmati kue padat berwarna kecoklatan yang kadang membuatnya terus berdecak-decak kagum itu. Dia gadis yang lucu dan menggemaskan.
Entah bagaimana, semakin sering kusaksikan, rona bahagianya terasa penuh magis. Aku tersihir. Kadang-kadang, itu jadi semacam candu. Seperti orang kesetanan, aku selalu ingin menyaksikan senyumnya, tertawanya, cerianya. Dan gilanya, ada setitik tekad dalam dadaku, keinginan agar suatu hari nanti senyum, tertawa, dan cerianya Mei, menjadi milikku. Aku ingin membuatnya bahagia. Kegilaan itulah yang kemudian membawaku ke tempat ini. Ruangan dengan banyak kubikel berukuran 2m x 2 m, yang setiap saat rasanya selalu dipenuhi kesibukan. Setahun terakhir, aku memaksimalkan kinerjaku sebagai System Analyst Staff di sebuah perusahaan besar di kota Jakarta. Rasa sukaku pada Mei benar-benar mengubah hidupku. Aku yang di masa SMA terkesan awut-awutan kemudian menjadi pejuang yang keras, lulus dengan hasil memuaskan, kuliah di universitas bonafide, hingga berujung di perusahaan besar ini. Semua ini tidak lain tidak bukan adalah berkat ambisiku membahagiakan Mei.
Kenangan soal brownies selai kacang mungkin memang sudah tertinggal beberapa tahun di belakang. Tapi bayangan wajah Mei, sepertinya nyaris kekal. Aku sudah berkali-kali mencoba mengenyahkannya dari pikiranku. Tapi, nihil. Di detik saat baru saja hendak mencoba, aku sudah tahu aku akan gagal. Mei benar-benar kekal dalam ingatanku.
Siang ini, setelah jam makan siang, aku menyempatkan diri mengecek surelku. Di barisan paling atas kotak masuk, ada surel baru dari Mei. Kami rutin berkirim surel setidaknya tiga hari sekali. Mei saat ini bekerja di sebuah penerbit di kota Jakarta –kota yang sama denganku, pekerjaan yang selalu dicita-citakannya dahulu saat kami masih SMA. Dari status-statusnya di dunia maya, Mei tampak menikmati pekerjaannya.
Aku juga mungkin sama, sama-sama menikmati pekerjaanku. Terlepas dari misi bekerja untuk membahagiakan Mei, aku sesungguhnya benar-benar mencintai pekerjaanku sendiri. Meski terkadang memusingkan, berkutat dengan data-data sepertinya akan menjadi pilihan hidup yang tidak pernah kusesali.
Dalam surelnya, Mei bercerita tentang sebuah naskah bertema roman kriminal yang membuatnya jatuh  cinta, tentang betapa bahagianya dia menjadi editor naskah tersebut. Dia juga bercerita tentang pertemuan-pertemuannya dengan si penulis naskah yang ternyata adalah seorang  pecinta kue juga, sama seperti dirinya. Di akhir surelnya dia menulis…
“Sepertinya, laki-laki itu menyukaiku. Bagaimana menurutmu?”
Aku yang semula tersenyum-senyum membaca ceritanya, mendadak terdiam. Dua kalimat terakhir dalam surelnya menjadi semacam cambuk bagiku.
Cambuk itu membuatku cemas secara seketika. Membuat jariku gemetar hingga rasanya tak bisa kugerakkan kursor.
Aku kemudian menghembuskan nafas keras-keras, menangkupkan kedua tangan menutupi wajah penuh lelahku. Mei membuat laki-laki jatuh cinta lagi. Gadis itu, kenapa sih? Tidak bisakah Mei berlaku cuek sedikit saja? Supaya laki-laki merasa enggan mendekatinya.
Ada bagian dalam diriku yang merasa begitu takut. Takut kalau-kalau Mei balas menyukai laki-laki itu. Dia adalah seorang editor, dan fakta bahwa dirinya menyukai hasil tulisan laki-laki itu, sangat masuk akal kalau dia juga bisa menyukai penulisnya.
Meskipun Mei pernah bilang, dia mencintaiku, tapi hati bisa berubah dan bertahan dengan pilihan lain, bukan? Percayalah, setiap laki-laki selalu punya ruang tersendiri bagi setiap kecemasannya tentang wanita yang dia cintai.
Aku tidak langsung membalas surelnya. Sebab bagiku, sebelum memutuskan sesuatu, kita perlu memastikan apakah keadaan hati kita benar-benar sudah stabil. Banyak orang di luar sana yang kemudian menyesal karena tindakan cerobohnya mengambil keputusan di saat suasana hatinya sedang tidak baik. Maka, aku menutup laman surelku kemudian menggantinya dengan lembar kerja.
Aku mendengus sekali lagi. Bersemoga agar segalanya berjalan baik-baik saja.
***
Dua hari berikutnya, Mei kembali mengirim surel baru. Kali ini masih tentang laki-laki itu. Dia bercerita bagaimana laki-laki itu mulai melemparinya perhatian. Mengucapkan selamat pagi setiap dia baru bangun tidur. Mengucapkan selamat makan. Mengirimnya bunga dan cokelat.
“Itu, sudah terlalu jauh, Mei. Kau harus menegaskan kalau kau tidak menyukainya.” Aku terus saja menceracau sembari tak hentinya membaca surel Mei. Berharap di belahan bumi sana, gadis itu sanggup mendengar geramku. Tapi, alih-alih semakin tenang, aku justru makin diburu cemas. Akhirnya, karena merasa sudah tidak sanggup lagi memendam semua amarahku sendirian, aku memutuskan bangkit dan meraih gagang telepon, menelpon kantor tempat Mei bekerja.
“Halo, dengan Penerbit Mulia, ada yang bisa saya bantu?” suara cempreng yang begitu khas terdengar dari seberang telepon. Itu suara Mei. Aku menangkap ceria dalam nada suaranya.
“Ini aku, Alfaro.”
“Hei Alfaro, kenapa kamu nggak bales surelku? Kamu lagi sibuk ya?” Mei terdengar histeris. Dia adalah gadis seperti itu, memang. Heboh.
Aku menarik nafas panjang, mencoba to the point. “Nanti malam bisa ketemu?”
Hening. Sepertinya, Mei sedang berpikir. “Ada apa?” katanya kemudian.
“Ini penting.”
“Hm, kalo kamu udah bilang penting berarti memang penting ya.”
“Aku tunggu di toko kue yang biasa, jam tujuh malam. Sampai nanti,” ujarku untuk kemudian memutus sambungan di detik berikutnya. Membuat aku yakin sekali Mei di sana pasti sedang berteriak-teriak kesal.
Terkadang, ada permasalahan-permasalahan yang perlu diselesaikan dengan temu. Tidak cukup jika hanya dengan kata, atau suara.
***
Jam tujuh malam, gadis itu sudah duduk di hadapanku. Ia memesan satu porsi brownies selai kacang yang sampai saat ini belum disentuhnya, juga secangkir cappuccino yang sudah tidak lagi mengepul. Matanya kini menatapku lekat-lekat, seolah memintaku untuk cepat-cepat menjelaskan alasan pertemuan yang setiba-tiba ini.
“Kamu tahu, aku harus pergi ke bookfair malam ini,” ujarnya parau.
“Bukan sembarang bookfair, Alfaro. Ini acara tahunan. Setidaknya, jangan buru-buru menutup telepon kalau aku belum mengiyakan,” lanjutnya, nadanya penuh amarah. Penuh kecewa.
Aku menunduk, mati-matian menghindari intimidasi matanya.
“Kalau bukan karena alasan perasaan, aku nggak akan dateng memenuhi keinginan kamu, mengorbankan bookfair tahunan itu.” Mei terus membombardirku dengan segala kalimat yang mengindikasikan ketidakikhlasannya menemuiku.
Aku menggingit bibir bagian bawah, mencoba menimbang hendak memulai pembicaraan dari sisi mana.
“Tuh kan kamu cuma diem, aku sia-sia dateng ke si—“
“Aku cuma mikir kita perlu bicara, Mei. Dua surel terakhirmu benar-benar membuatku resah. Tentang laki-laki itu, aku takut, aku takut dia sanggup membawamu pergi.”
Mei diam, nafasnya memburu.
“Kamu harus tegas, kalau memang kamu masih beranggapan bahwa antara aku dan kamu masih ada ‘kita’ yang kamu harapkan, menjauhlah dari laki-laki itu. Jangan sembarang memberi perhatian,”
Mei berdecak. “Jadi ini tentang ketidaksetujuanmu atas kedekatanku dengan Farel?”
“Tidak ada laki-laki yang bisa setuju melihat wanitanya dekat dengan laki-laki lain.”
“Gimana aku bisa menjauh, dia partnerku, kita dipertemuin dalam satu projek, Alfaro.”
“Setidaknya, jangan berlaku seolah-olah kamu membuka hati.”
Mei berusaha mengatur nafas. Dia terdiam, matanya malu-malu menatapku.
“Mei, aku menyayangimu. Dan untuk meyakinkanmu satu hal ini, kita perlu bertemu. Jarak kadang mengundang prasangka, itu sebabnya aku memintamu datang ke tempat ini, karena aku tidak mau lagi ada prasangka yang sama-sama menghantui kita dan menghadirkan ragu.”
Mei menunduk, tanda-tanda hendak menangis.
“Sekarang, tolong, dalam surelmu kau meminta pendapatku kan? Aku berpendapat, jauhi dia, atau minimal, jangan bertindak seolah-olah kau membuka hati.”
Mei sempurna meneteskan air matanya. Mungkin memang begitu, wanita kerap kali menangis atas perihal-perihal yang kadang tidak bisa dimengerti lelaki.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah porsi brownies yang sejak tadi tak disentuhnya.
“Ayo dimakan browniesnya. Biar kau yang merasakan bagian manisnya, aku sudah terbiasa mengecap pahit,” ujarku sembari mendorong pisin itu agar lebih dekat dan lebih mudah dijangkau Mei. Satu hal lagi yang selalu kuingat, setiapkali menikmati brownies, Mei selalu menyisakan bagian yang tidak ada selainya –bagian pahit untuk kemudian diserahkannya padaku.
“Biar kau yang merasakan bagian manisnya, aku sudah terbiasa mengecap pahit,” ulangku. Membuat tangis Mei kian menjadi.
Gadis itu kemudian mengangkat wajahnya, memberiku sebuah senyum.
“Maafkan aku, Alfaro.”
Aku sudah memaafkanmu, Mei, bahkan sebelum kau menuntaskan kalimat permintaan maafmu.
Gadis itu memotong brownies selai kacangnya menjadi dua bagian sama besar.
“Supaya kita sama-sama merasakan bagian manis maupun pahitnya,” katanya.
Aku tersenyum.
Mei, aku mencintaimu. Aku ingin membuatmu bahagia. Maaf kalau hingga detik ini, alih-alih membuatmu bahagia, kau justru seringkali menangis karenaku.
***
Brebes, 5 April 2017
#Ikan_Mas

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2025 hidup menyimpan kisah yang bisa dituliskan - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Yulian Ekananta -